capcay dan tjapdjai
Capcay, begitu kita menyebutnya. Sungguh mudah menemukannya. Di jalan-jalan utama, saat malam menjelang, banyak warung makan yang beratapkan tenda menjual makanan ini. Kata seorang teman yang mengerti bahasa mandarin, capcay berasal dari bahasa Tiongkok (baca: cung kwo), cap (sepuluh) dan cay (sayuran) yang berarti 10 jenis sayur. Kesepuluh jenis sayuran tadi diolah dan jadilah masakan bernama capcay.
Kini capcay bukan lagi dominasi warga keturunan Tionghoa, sang empunya makanan ini. Buktinya, penjual makanan ini sudah sangat beragam, dari mulai orang sunda, jawa, betawi dan lainnya. Apalagi yang makannya, tak terbatasi lagi oleh etnis, jenis usia, gender, apalagi agama (kecuali bila cap caynya mengandung daging atau minyak babi).
Itu cerita tentang capcay. Lain lagi dengan cerita tjapdjai, meskipun sama-sama terdiri dari dua suku kata, pemaknaannya sungguh berbeda. Tjap di suku kata pertama adalah tranliterasi dari ejaan baru "cap" ke ejaan lama. Sedangkan "djai" merupakan penulisan dari "Jai".
Dalam bahasa inggris, "cap" bisa berarti penutup atau sumbat, sedangkan Cap dalam bahasa indonesia merujuk pada sebuah penanda yang digunakan untuk melegalisasi sesuatu. Biasanya terbuat dari karet yang ditoreh hingga berbentuk sesuatu, atau tertuliskan sesuatu. Temannya adalah bak tinta tempat sang "cap" mengambil bahan penanda.
Penggunaannya pun kini meluas. Semua instansi pemerintah mulai dari lembaga kepresidenan, MPR, pemerintahan kota, hingga RT semuanya menggunakan cap. Belum lagi perusahaan dan LSM yang merasa perlu akan keberadaan ini.
Tak pelak, keberadaan "cap" sebagai penanda, atau representant menjadi amat penting. Cap akan merujuk pada sang pemilik cap itu, baik lembaga atau pun perorangan. Karena merupakan representant, cap akan menjadi representasi dari realitas yang mewakili sang empunya. Bukan tak mungkin ia menjadi identitas dari sang pemilik. Orang akan melihat siapa seseorang atau apa sesuatu dari "cap" yang ada.
Disadari ataupun tidak, di dunia penuh dengan labeling ini, cap menjadi sesuatu yang harus dimiliki atau secara otomatis inheren pada seseorang. Bagaimana ia muncul? perilaku, sikap, kata-kata atau tindakan bisa memunculkan cap.
Saat seorang pejabat mengambil uang rakyat dan ketahuan KPK, maka cap yang muncul padanya adalah cap "koruptor". Ketika seorang wanita berhubungan seks dengan banyak laki-laki tanpa menikah, sebagian masyarakat membubuhi cap "wanita nakal", bahkan cap "pelacur" didapatnya dengan gratis, meskipun di tempat lain, para penganut kebebasan memberinya cap sebagai "liberalis sejati".
Orang pun bisa dengan mudah memberi atau menerima cap pada dan dari manusia lainnya. Sifat "cap" ini pun akhirnya mengikuti kaidah "phanta rei" nya Heraclitus: tidak ada cap yang tetap. Cap bisa berubah sewaktu-waktu, seperti hidup, kadang orang menerima cap baik juga cap buruk.
Dalam kitab suci pun cap ini sempat disinggung pula. Ketika Tuhan melarang manusia memberikan gelaran yang buruk pada manusia lainnya, karena yang memberi cap boleh jadi tidak lebih baik dari yang menerima cap, Orang yang menggunjing belum tentu lebih baik dari yang digunjing.
Hingga pada akhirnya di akhirat, Tuhan pun memberikan cap pada manusia yang menentukan apakah ia masuk surga atau neraka. Cap yang muncul dari apa yang diperbuat selama di dunia inilah yang akan diterima masing-masing manusia. Cap yang berasal dari catatan sejauh mana ia menaati perintah Tuhan dan menjauhi larangannya, cap yang berisikan berapa banyak pelanggaran yang dibuat manusia pada Tuhan dan pada manusia lainnya.
Ah, memikirkan itu malah membuat saya jadi merenung, apakah cap yang akan saya tinggalkan ketika saya mati dan apakah cap yang bakal saya dapat ketika saya berada di kehidupan kedua setelah kematiannya.
kendati demikian, izinkanlah saya, menamai blog ini sebagai serpihan kecil "tjap" yang ingin saya - seorang "djai" - bagi kepada anda, rekan sekalian. Semoga memaklumi adanya.
Cap ini pulalah yang bakal menstimulasi cap yang bakal anda berikan pada saya, sebagaimana saya pun memberikan cap pada anda (mungkin sejak masih dalam pikiran pun). Sedikit berharap bahwa cap-cap yang bakal kita saling beri akan membuat hidup lebih baik, semoga "tjapdjai, akan seenak sepuluh sayuran yang diramu dalam mangkok berisikan capcay gurih yang sering saya nikmati di Jatinangor dulu sehabis bermain bola...
Wassalam
0 Comments:
Post a Comment
<< Home