KELUARGA BERENCANA 2055
Oleh: Arif Zaidan*
"Man is the only species who tells story, and lived by the story he tells" - George Gebner
Menafsir masa depan Program KB di Indonesia berarti belajar dari masa lalu dan menabung upaya dari sekarang.
Silakan lihat di salah satu bagian situs http://jabar.bkkbn.go.id dan www.bkkbn.go.id, di sana jelas terpampang visi KB hingga 2015, "Penduduk Tumbuh Seimbang 2015". Visi itu kemudian diturunkan dalam Misi Mewujudkan Pembangunan Berwawasan Kependudukan, dan Mewujudkan Keluarga Bahagia Sejahtera".
Visi adalah arah atau pandangan di masa depan yang mungkin terjadi dari kondisi yang diupayakan saat ini. Dalam konteks ini visi KB 2015 akan menuntun para pegiatnya sehingga tak bingung menetapkan sasaran. Visi jadi semacam guidance atau peta yang menunjukkan ke mana dan kapan semua upaya penggiatan KB itu bermuara. Visi selalu bergantung pada ruang dan waktu. Karena terikat konteks waktu, visi KB takkan pernah rigid. Ia akan menyesuaikan dengan kondisi kependudukan, situasi di masyarakat dan ancaman kemampuan sebuah negara menampung jumlah penduduk sehingga bisa terlayani. Soal visi yang terikat konteks waktu ini, masa lalu pernah memberikan pelajaran berharga pada kita.
Saat itu, pertengahan tahun 80 an, KB adalah program primadona. Pencapaian Indonesia dalam bidang KB sangat luar biasa. Sejumlah prestasi Internasional diraih pemerintah. Presiden Soeharto meraih 'Global Statement Award' dari Population Institute, AS di tahun 1988. Penghargaan ini selanjutnya diberi nama 'Soeharto Award' untuk menunjukkan betapa besarnya pencapaian kesuksesan KB Indonesia. Setahun setelahnya, pada 1989, Presiden Soeharto menerima penghargaan teringgi di bidang kependudukan dan KB, yaitu ' United Nations Population Award' dari PBB. Ini semacam peneguhan yang luar biasa pada kesuksesan pengendalian penduduk Indonesia.
Dukungan terhadap pegiat KB, dalam hal ini BKKBN, mengalir sejurus dengan Kemampuan mereka mengordinasikan berbagai program. Baby Boom yang menjadi ancaman di dasawarsa 1970 memasuki tahap pengereman pada periode 1980-1990. Di mata internasional, kesuksesan ini berdampak pada ditunjuknya Indonesia jadi satu dari empat negara Center of Excellence, selain Thailand, Mexico dan Tunisia oleh lembaga bentukan PBB, UNFPA. Kisah sukses itu tak berakhir di sana. Selanjutnya, di tahun 1994 kisah sukses itu diangkat dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD).
Kesuksesan di tahun 90 an itu bahkan sempat membuat beberapa lembaga donor bersiap menarik perwakilannya dalam memantau program di Indonesia, karena menganggap pekerjaannya selesai. Bahkan, di kantor USAID saat itu, pencapaian keberhasilan itu terlihat dalam guyonan, siapa yang akan mematikan lampu kantor pada akhirnya, sebagai tanda bahwa tugas mereka mengawasi program di Indonesia telah usai.
Visi KB yang ditetapkan para founding fathers saat itu seolah telah tercapai, meski demikian, di tengah gempitanya kesuksesan KB, bayang-bayang keterpurukan program di masa sesudah itu mulai mengintai. Ada yang menganggap kisah sukses itu membuat terlena, seperti halnya banyak pihak yang mengira bahwa kekuasaan orde baru tak pernah lekang.
Perubahan besar itu datang pada tahun 1998. Kekuasaan yang mengakar selama 32 tahun berakhir. Era Reformasi adalah lonceng kematian yang menandainya. Seperti terompet yang ditiupkan Israfil, 'kiamat' program seakan datang seiring genoside besar-besaran terhadap segala sesuatu yang berbau orde baru. Orde reformasi kemudian memilih sendiri anak emasnya. Atas nama demokrasi, politik menjadi panglima. Atas nama demokrasi pula otonomi daerah jadi primadona. Program KB bagaikan mewarisi dosa orde baru, sehingga para pemangku kebijakan tak lagi berpaling padanya.
Inilah masa yang disebutkan Soeroso Dasar, penulis dan pemerhati kependudukan dan KB, sebagai cacat sejarah program KB Indonesia. Anggaran program dipangkas besar-besaran, peran lembaga tingkat nasional dikerdilkan, dan pegiat KB di Kabupaten dan Kota tak terperhatikan. Hingga semua tersadarkan, bahwa lagu Rhoma Irama, "120 juta jiwa penduduk Indonesia", kini tak bisa dinyanyikan, karena jumlahnya membengkak hampir dua kali lipatnya.
Sensus penduduk mengagetkan semua, meskipun sisi baiknya adalah bahwa itu momentum mengembalikan kembali visi KB pada tempat yang sesungguhnya: 'Penduduk Tumbuh Seimbang'. Ukurannya pun ditakar: tahun 2015, waktu yang bersamaan dengan target pencapaian tujuan milenium (Millenium Development Goals).
Saat ini upaya mengejar visi 2015 itu terus diupayakan. Tantangannya lebih berat karena para pegiat KB menghadapi situasi yang jauh berbeda. Lihat saja jargon 'Dua Anak Cukup' yang bergema di masa lalu, saat ini bertransformasi menjadi 'Dua Anak Lebih Baik', sebuah tranformasi yang kompromistis dengan tuntutan Hak Asasi Manusia yang melarang pembatasan Hak Reproduksi.
KB saat ini juga menghadapi kondisi yang tak mudah berkaitan dengan meningkatnya daya kritis masyarakat yang bisa menggugat banyak hal dengan mudahnya, tak terkecuali sosialisasi program Keluarga Berencana. Era ketika para pria divasektomi dengan pendekatan koersif sudah lewat. Pendekatan ini dinilai tidak memberikan pilihan dan terjauh dari HAM yang didengung-dengungkan selama orde reformasi berjalan. Kisah sukses KB di masa lalu boleh jadi menyisakan nostalgia meskipun tidak membuat upaya yang dilakukan pegiatnya saat ini sia-sia adanya.
Di tengah ancaman ledakan penduduk jilid dua (setelah era 1970 an) itulah para pegiat program di seluruh Indonesia kembali menyingsingkan lengan baju. Sebagaimana ditegaskan Kepala BKKBN, Sugiri Syarief, perlu ada revitalisasi program KB. Berbagai inovasi terus dibuat, sejumlah pendekatan baru coba dilakukan. Sebagai bagian dari implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, penggiatan program KB mutlak harus didukung oleh desain induk (grand design) kependudukan yang saat ini tengah digodok. Kelak, desain inilah yang akan memetakan daya dukung sumber daya terhadap jumlah penduduk yang ada. Seberapa besar sebuah daerah dengan jumlah penduduk tertentu bisa bertahan dengan sumber daya yang ada.
Pemetaan ini menjadi penting karena urusan kependudukan adalah masalah hulu yang jika tak ditangani serius, ancamannya ke masalah hilir semacam pengangguran, konsumsi energi, kebutuhan pangan berdampak sangat serius.
Penguatan visi penduduk tumbuh seimbang juga merupakan bagian dari upaya revitalisasi itu. Anggaran kembali ditingkatkan dan dukungan dari berbagai pihak mulai digalang seiring jalinan komitmen bahwa kesuksesan program kependudukan dan KB adalah tugas bersama dan ancaman ledakan penduduk adalah masalah bersama.
Saat ini adalah masa menabung upaya. Jika kelak pun capaian KB di tahun 2015 tercapai, maka para pegiat KB jangan kembali terlena dan jatuh pada lubang yang sama. Untuk itu, perluasan visi KB sebaiknya ditarik pada empat puluh tahun ke depan setelah tahun 2015. Visi KB yang semestinya dipahami adalah KB 2055, dengan ukuran Zero Population Growth alias Penduduk Tanpa Pertumbuhan.
Tujuan ini bukan hanya isapan jempol belaka. Tahun 2000 ukuran Total Fertility Rate (TFR), atau rata-rata kelahiran per seribu wanita usia subur adalah 2,51. Tahun 2015, TFR diharapkan bisa mencapai 2 sampai 2,1. Selanjutnya, demi mencapai kondidi penduduk tanpa pertumbuhan, TFR yang harus dicapai adalah 2, 0 dan itu pun harus terus bertahan hingga dua generasi sampai tahun 2055. Dengan visi demikian, pola kelahiran 'Dua Anak Lebih Baik' harus terus digelorakan. Pasangan usia subur diupayakan untuk melakukan pendewasaan usia perkawinan dan pelayanan serta penyediaan kontrasepsi sebagai upaya intervensi kesuburan tetap dilakukan.
Upaya penggerakkan program difokuskan pada menciptakan kebutuhan akan ber-KB bagi keluarga Indonesia. Lembaga yang menangani program di berbagai tingkatan diharapkan terus bergerak di dua domain besar, memberikan pelayanan KB (supply side) dan menciptakan permintaan (demmand creation).
Pergeseran perspektif KB dari kewajiban warga negara menjadi kebutuhan individu jelas tak semudah membalik telapak tangan, namun bukan berarti mustahil dilakukan. Peran pemerintah secara struktural juga akan lebih mempercepat upaya tersebut. Berbagai kebijakan yang diluncurkan diharapkan sinergis dengan upaya pengendalian penduduk. Misalkan saja Jaminan Persalinan (Jampersal ). Kebijakan ini akan berpihak pada upaya pengendalian pendudukan, ketika ada syarat bahwa yang dijamin hanya sampai anak kedua. Di bidang pendidikan juga begitu, misalkan ada kebijakan biaya sekolah gratis, maka itu hanya berlaku bagi anak pertama dan kedua saja.
Pemerintah sangat mungkin dan wajar jika memberlakukan kebijakan semacam ini. Penerapan syarat bagi program-program tadi dilakukan untuk memperlihatkan ancaman ledakan penduduk jika tak dikendalikan. Bagaimanapun, jumlah penduduk akan berbanding lurus dengan beban yang ditanggung pemerintah. Penduduk besar yang tidak berkualitas, akan menjadi beban pembangunan, alih-alih sebagai aset pembangunan.
Visi KB 2055 inilah yang bakal jadi investasi berharga bagi para pegiat KB di masa mendatang. Setidaknya, dengan mewariskan mimpi jangka panjang program, para pewaris program di masa mendatang memiliki acuan yang sama dengan apa yang saat ini kita rumuskan juga sejalan dengan apa yang telah dikukuhkan sebagai fondasi oleh para founding fathers program KB di masa lalu.
Pewarisan kisah sukses, pembelajaran kegagalan dan peluasan visi bagaikan pelestarian cerita sebagaimana yang dikatakan Gerbner sebagai 'lived by the story he tells'. KB adalah urusan manusia, dilakukan oleh manusia dan kelak manusialah yang merasakan dampaknya di masa depan.
Berbuatlah sekarang juga, karena Jika ada hal yang bisa menafsir masa depan, maka itu adalah upaya yang kita lakukan saat ini.
Tabik!
* Alumnus Universitas Padjadjaran, Bergiat di BKKBN Provinsi Jawa Barat