from A(rif) to Z(aidan): sebuah cap diri berisikan segala macam yang tak teratur... perjalanan hidup; ziarah dunia; egoisme; etnosentrisme; (mungkin) ide; celetukan; isi hati; orat-oret; usul-usil; supat-sepet; ekspektasi masa depan; kerinduan akan surga di akhirat kelak

Wednesday, September 14, 2011

KELUARGA BERENCANA 2055

Oleh: Arif Zaidan*

"Man is the only species who tells story, and lived by the story he tells" - George Gebner


Menafsir masa depan Program KB di Indonesia berarti belajar dari masa lalu dan menabung upaya dari sekarang.


Silakan lihat di salah satu bagian situs
http://jabar.bkkbn.go.id dan www.bkkbn.go.id, di sana jelas terpampang visi KB hingga 2015, "Penduduk Tumbuh Seimbang 2015". Visi itu kemudian diturunkan dalam Misi Mewujudkan Pembangunan Berwawasan Kependudukan, dan Mewujudkan Keluarga Bahagia Sejahtera".

Visi adalah arah atau pandangan di masa depan yang mungkin terjadi dari kondisi yang diupayakan saat ini. Dalam konteks ini visi KB 2015 akan menuntun para pegiatnya sehingga tak bingung menetapkan sasaran. Visi jadi semacam guidance atau peta yang menunjukkan ke mana dan kapan semua upaya penggiatan KB itu bermuara.
Visi selalu bergantung pada ruang dan waktu. Karena terikat konteks waktu, visi KB takkan pernah rigid. Ia akan menyesuaikan dengan kondisi kependudukan, situasi di masyarakat dan ancaman kemampuan sebuah negara menampung jumlah penduduk sehingga bisa terlayani. Soal visi yang terikat konteks waktu ini, masa lalu pernah memberikan pelajaran berharga pada kita.

Saat itu, pertengahan tahun 80 an, KB adalah program primadona. Pencapaian Indonesia dalam bidang KB sangat luar biasa. Sejumlah prestasi Internasional diraih pemerintah. Presiden Soeharto meraih 'Global Statement Award' dari Population Institute, AS di tahun 1988. Penghargaan ini selanjutnya diberi nama 'Soeharto Award' untuk menunjukkan betapa besarnya pencapaian kesuksesan KB Indonesia. Setahun setelahnya, pada 1989, Presiden Soeharto menerima penghargaan teringgi di bidang kependudukan dan KB, yaitu ' United Nations Population Award' dari PBB. Ini semacam peneguhan yang luar biasa pada kesuksesan pengendalian penduduk Indonesia.

Dukungan terhadap pegiat KB, dalam hal ini BKKBN, mengalir sejurus dengan Kemampuan mereka mengordinasikan berbagai program. Baby Boom yang menjadi ancaman di dasawarsa 1970 memasuki tahap pengereman pada periode 1980-1990.
Di mata internasional, kesuksesan ini berdampak pada ditunjuknya Indonesia jadi satu dari empat negara Center of Excellence, selain Thailand, Mexico dan Tunisia oleh lembaga bentukan PBB, UNFPA. Kisah sukses itu tak berakhir di sana. Selanjutnya, di tahun 1994 kisah sukses itu diangkat dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD).

Kesuksesan di tahun 90 an itu bahkan sempat membuat beberapa lembaga donor bersiap menarik perwakilannya dalam memantau program di Indonesia, karena menganggap pekerjaannya selesai. Bahkan, di kantor USAID saat itu, pencapaian keberhasilan itu terlihat dalam guyonan, siapa yang akan mematikan lampu kantor pada akhirnya, sebagai tanda bahwa tugas mereka mengawasi program di Indonesia telah usai.


Visi KB yang ditetapkan para founding fathers saat itu seolah telah tercapai, meski demikian, di tengah gempitanya kesuksesan KB, bayang-bayang keterpurukan program di masa sesudah itu mulai mengintai. Ada yang menganggap kisah sukses itu membuat terlena, seperti halnya banyak pihak yang mengira bahwa kekuasaan orde baru tak pernah lekang.


Perubahan besar itu datang pada tahun 1998. Kekuasaan yang mengakar selama 32 tahun berakhir. Era Reformasi adalah lonceng kematian yang menandainya. Seperti terompet yang ditiupkan Israfil, 'kiamat' program seakan datang seiring genoside besar-besaran terhadap segala sesuatu yang berbau orde baru.
Orde reformasi kemudian memilih sendiri anak emasnya. Atas nama demokrasi, politik menjadi panglima. Atas nama demokrasi pula otonomi daerah jadi primadona. Program KB bagaikan mewarisi dosa orde baru, sehingga para pemangku kebijakan tak lagi berpaling padanya.

Inilah masa yang disebutkan Soeroso Dasar, penulis dan pemerhati kependudukan dan KB, sebagai cacat sejarah program KB Indonesia. Anggaran program dipangkas besar-besaran, peran lembaga tingkat nasional dikerdilkan, dan pegiat KB di Kabupaten dan Kota tak terperhatikan.
Hingga semua tersadarkan, bahwa lagu Rhoma Irama, "120 juta jiwa penduduk Indonesia", kini tak bisa dinyanyikan, karena jumlahnya membengkak hampir dua kali lipatnya.

Sensus penduduk mengagetkan semua, meskipun sisi baiknya adalah bahwa itu momentum mengembalikan kembali visi KB pada tempat yang sesungguhnya: 'Penduduk Tumbuh Seimbang'. Ukurannya pun ditakar: tahun 2015, waktu yang bersamaan dengan target pencapaian tujuan milenium (Millenium Development Goals).


Saat ini upaya mengejar visi 2015 itu terus diupayakan. Tantangannya lebih berat karena para pegiat KB menghadapi situasi yang jauh berbeda. Lihat saja jargon 'Dua Anak Cukup' yang bergema di masa lalu, saat ini bertransformasi menjadi 'Dua Anak Lebih Baik', sebuah tranformasi yang kompromistis dengan tuntutan Hak Asasi Manusia yang melarang pembatasan Hak Reproduksi.

KB saat ini juga menghadapi kondisi yang tak mudah berkaitan dengan meningkatnya daya kritis masyarakat yang bisa menggugat banyak hal dengan mudahnya, tak terkecuali sosialisasi program Keluarga Berencana. Era ketika para pria divasektomi dengan pendekatan koersif sudah lewat. Pendekatan ini dinilai tidak memberikan pilihan dan terjauh dari HAM yang didengung-dengungkan selama orde reformasi berjalan. Kisah sukses KB di masa lalu boleh jadi menyisakan nostalgia meskipun tidak membuat upaya yang dilakukan pegiatnya saat ini sia-sia adanya.

Di tengah ancaman ledakan penduduk jilid dua (setelah era 1970 an) itulah para pegiat program di seluruh Indonesia kembali menyingsingkan lengan baju. Sebagaimana ditegaskan Kepala BKKBN, Sugiri Syarief, perlu ada revitalisasi program KB. Berbagai inovasi terus dibuat, sejumlah pendekatan baru coba dilakukan.
Sebagai bagian dari implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, penggiatan program KB mutlak harus didukung oleh desain induk (grand design) kependudukan yang saat ini tengah digodok. Kelak, desain inilah yang akan memetakan daya dukung sumber daya terhadap jumlah penduduk yang ada. Seberapa besar sebuah daerah dengan jumlah penduduk tertentu bisa bertahan dengan sumber daya yang ada.

Pemetaan ini menjadi penting karena urusan kependudukan adalah masalah hulu yang jika tak ditangani serius, ancamannya ke masalah hilir semacam pengangguran, konsumsi energi, kebutuhan pangan berdampak sangat serius.

Penguatan visi penduduk tumbuh seimbang juga merupakan bagian dari upaya revitalisasi itu. Anggaran kembali ditingkatkan dan dukungan dari berbagai pihak mulai digalang seiring jalinan komitmen bahwa kesuksesan program kependudukan dan KB adalah tugas bersama dan ancaman ledakan penduduk adalah masalah bersama.


Saat ini adalah masa menabung upaya. Jika kelak pun capaian KB di tahun 2015 tercapai, maka para pegiat KB jangan kembali terlena dan jatuh pada lubang yang sama. Untuk itu, perluasan visi KB sebaiknya ditarik pada empat puluh tahun ke depan setelah tahun 2015. Visi KB yang semestinya dipahami adalah KB 2055, dengan ukuran Zero Population Growth alias Penduduk Tanpa Pertumbuhan.


Tujuan ini bukan hanya isapan jempol belaka. Tahun 2000 ukuran Total Fertility Rate (TFR), atau rata-rata kelahiran per seribu wanita usia subur adalah 2,51. Tahun 2015, TFR diharapkan bisa mencapai 2 sampai 2,1. Selanjutnya, demi mencapai kondidi penduduk tanpa pertumbuhan, TFR yang harus dicapai adalah 2,
0 dan itu pun harus terus bertahan hingga dua generasi sampai tahun 2055. Dengan visi demikian, pola kelahiran 'Dua Anak Lebih Baik' harus terus digelorakan. Pasangan usia subur diupayakan untuk melakukan pendewasaan usia perkawinan dan pelayanan serta penyediaan kontrasepsi sebagai upaya intervensi kesuburan tetap dilakukan.

Upaya penggerakkan program difokuskan pada menciptakan kebutuhan akan ber-KB bagi keluarga Indonesia. Lembaga yang menangani program di berbagai tingkatan diharapkan terus bergerak di dua domain besar, memberikan pelayanan KB (supply side) dan menciptakan permintaan (demmand creation).


Pergeseran perspektif KB dari kewajiban warga negara menjadi kebutuhan individu jelas tak semudah membalik telapak tangan, namun bukan berarti mustahil dilakukan. Peran pemerintah secara struktural juga akan lebih mempercepat upaya tersebut. Berbagai kebijakan yang diluncurkan diharapkan sinergis dengan upaya pengendalian penduduk. Misalkan saja Jaminan Persalinan (Jampersal ). Kebijakan ini akan berpihak pada upaya pengendalian pendudukan, ketika ada syarat bahwa yang dijamin hanya sampai anak kedua.
Di bidang pendidikan juga begitu, misalkan ada kebijakan biaya sekolah gratis, maka itu hanya berlaku bagi anak pertama dan kedua saja.

Pemerintah sangat mungkin dan wajar jika memberlakukan kebijakan semacam ini. Penerapan syarat bagi program-program tadi dilakukan untuk memperlihatkan ancaman ledakan penduduk jika tak dikendalikan. Bagaimanapun, jumlah penduduk akan berbanding lurus dengan beban yang ditanggung pemerintah. Penduduk besar yang tidak berkualitas, akan menjadi beban pembangunan, alih-alih sebagai aset pembangunan.


Visi KB 2055 inilah yang bakal jadi investasi berharga bagi para pegiat KB di masa mendatang. Setidaknya, dengan mewariskan mimpi jangka panjang program, para pewaris program di masa mendatang memiliki acuan yang sama dengan apa yang saat ini kita rumuskan juga sejalan dengan apa yang telah dikukuhkan sebagai fondasi oleh para founding fathers program KB di masa lalu.


Pewarisan kisah sukses, pembelajaran kegagalan dan peluasan visi bagaikan pelestarian cerita sebagaimana yang dikatakan Gerbner sebagai 'lived by the story he tells'. KB adalah urusan manusia, dilakukan oleh manusia dan kelak manusialah yang merasakan dampaknya di masa depan.


Berbuatlah sekarang juga, karena Jika ada hal yang bisa menafsir masa depan, maka itu adalah
upaya yang kita lakukan saat ini.

Tabik!

* Alumnus Universitas Padjadjaran, Bergiat di BKKBN Provinsi Jawa Barat

Tuesday, October 20, 2009

PERSIB, SEPEDA DAN MIMPI MENYAKSIKAN MESSI

Catatan perjalanan bersepeda ke Stadion Si Jalak Harupat, 14 Februari 2009.

Valentine tempo hari itu akhirnya saya rayakan bersama Acip. Iya! Acip yang itu, tukang gigi yang hobi bikin surat. Berdua saja, kami bersepeda dari Cikapayang ke Stadion Si Jalak Harupat, Soreang. Hari itu diwarnai dengan gowes nonton yang nyaris batal dan Persib yang hampir gagal.

Acip bilang, kalau saja saya tidak meneleponnya, mungkin acara gowes stadion yang diharapkan mentradisi itu bakal batal. Pasalnya, beberapa orang mengabarkan pembatalan mereka. Tapi akhirnya jadi juga, biarpun cuma berdua. Alhasil, pukul lima sore dua sepeda Extrada bertandang ke luar kota.

Seharusnya, kami datang lebih awal. Biarpun lewat jalur potong kompas via Margaasih-Nanjung- Soreang, kami terhambat juga oleh rombongan bobotoh bermotor yang terganjal macet beberapa ratus meter menjelang stadion. Lepas lawan Persipura, bobotoh yang haus kemenangan beramai-ramai datang dan berharap Persib meraih tiga angka di laga ini.

Sampai di stadion, Acip mengontak Heru Joko, gegedug Viking. Selain mengabarkan kedatangan, juga konfirmasi soal tiket masuk yang kini memang harus dibeli. Acip pesan tiga, soalnya, beberapa saat sebelum itu, Dwey mengontak dia dan mengabari sedang ada di perjalanan menuju stadion. Syukurlah, hari Valentine itu akhirnya dirayakan bertiga.

Saat tiket sudah di dapat, kami pun masuk dengan cepat. Bertepatan dengan wasit meniup kick-off tanda pertandingan segera dimulai. Lewat tiga puluh menit pertandingan, Dwey menelepon. Sudah sampai di stadion. Acip yang memegang tiket Dwey segera keluar menjemput. Beberapa menit kemudian, Dwey bergabung di VIP barat. Rombongan sepeda lengkap sudah, tapi hanya bertiga saja.

* * *

Ini pertama kali saya menonton Persib bermain langsung di depan mata. Di stadion besar pula, di mana lampu-lampu ber-watt besar menyala di seluruh penjuru stadion. Menyinari lapangan yang mulus luar biasa. Sungguh, saat itu saya tidak merasa berada di Soreang, sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung, yang bahkan jalannya pun hanya cukup untuk lewat dua mobil.

Tapi, euforia berada di stadion itu berakhir ketika kami berlama-lama duduk di sana. Duduk beralaskan tembok menyadarkan saya bahwa ini Indonesia. Stadion di mana kursi-kursi bernomor hanyalah cita-cita, dan impian menyelenggarakan piala dunia hanyalah mimpi di siang bolong semata. Ah, sudahlah.

Malam itu Persib bermain terburu-buru. Tak ada gol tercipta di babak satu. Bikin gemas saja. Beberapa kali saya berdiri saat ada peluang nyaris berbuah gol, berkali itu pula saya kecewa karena skor masih tetap sama. Acip, begitu juga.

Acip yang orang Jambi mengingatkan saya pada Agung Hawe, karib saya. Bukan kebetulan jika mereka berasal dari daerah yang sama. Mungkin juga karena satu sama lain punya kesamaan, sama-sama suka sepakbola. Dia bilang, boleh jadi ini adalah tahun-tahun terakhirnya di Bandung. Mungkin, menonton Persib bermain adalah salah satu kesenangan yang bakal hilang, ketika dia pulang ke kampung halaman.

Di jeda babak pertama, sambil makan bekal, kami beberapa kali ‘sok-sok’ mengomentari pertandingan. Hingga tak terasa, para pemain mulai memasuki lapangan.

Babak kedua, penonton berharap banyak pertandingan bakal lebih menarik. Lebih menarik memang, tapi tetap saja, gol yang dinantikan tak kunjung datang. Padahal Persib tak henti-hentinya menyerang. Entahlah, rasanya ada yang kurang dari permainan ‘sang pangeran biru’ malam itu. Dewi fortuna, mungkin.

Menjelang peluit panjang, penonton mulai anarkis. Sebagian pulang dengan kecewa, sebagian lagi melempar botol-botol minuman. Hemm.. padahal kami menonton di VIP, tapi perilaku ternyata tak ada kaitannya dengan kemampuan finansial. Tetap saja penonton kampungan ada di mana-mana.

Saya, Dweyy dan Acip hanya geleng-geleng kepala, melihat botol-botol plastik diisi air mulai berseliweran ke arah bench PSM. Acip juga kecewa melihat Persib tidak menang, tapi dia juga kecewa melihat penonton kampungan.

“Wah, gowes pulang bakal lebih capek, nih!” ujar Acip. Disambut dengan senyum Dweyy dan seringai saya. Boleh jadi, bakal lain ceritanya jika Persib malam itu menang, niscaya Kami bakal pulang dengan lebih riang.

* * *

Entah efek kekecewaan atau memang sudah ingin pulang, Dweyy menggeber sepedanya dengan beringas. Saya dan Acip terpaksa harus mengimbangi jika tak mau ketinggalan jauh. Di daerah Lanud Sulaeman, Acip belok kiri memisahkan diri. Perjalanan harus dilanjutkan hingga Dago Pojok.

Saya dan Dweyy masih beriringan. Menuju arah Soekarno Hatta, kemudian belok kiri ke timur menuju Buah batu. Di daerah Parakan Asri giliran Dweyy pamit duluan, sementara saya masih harus mengayuh. Malam semakin pekat, tapi masih ada sekira empat kilometer untuk sampai di rumah. Tak sabar rasanya ingin segera sampai, dan disambut ambu tercinta. Apalagi setelah tahu ada makanan menunggu, dan air panas untuk menyegarkan badan menjelang ke peraduan.

Persib memang imbang, tapi malam itu saya tetap merasa senang. Selain sensasi mencicipi stadion megah, juga ada sedikit mimpi yang mulai tersulam. Entah kapan, suatu waktu, saya ingin melihat Lionel Messi bermain di depan mata kepala sendiri. Mungkin di Nou Camp, atau di stadion lain dalam ajang Liga Champions Eropa, siapa yang tahu? Yang ada mungkin doa, semoga Tuhan memeluk mimpi-mimpi itu.


Tabik!
Bandung, 17 Februari 2009

Tuesday, October 13, 2009

Hari Batik untuk Oom Din

Lihat orang bersepeda di jalan boleh jadi bukan hal yang aneh. Tapi jika bersepeda sambil menggunakan batik, mungkin ini unik. Apalagi sambil konvoi batik bersepeda keliling Bandung.

Yep, hari ini, Jumat (2/10), ketika nyaris semua orang berbatik ria, komunitas sepeda ikutan juga. Apalagi mereka diundang oleh Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB) untuk konvoi berkeliling Bandung dalam rangka memperingati hari penetapan batik sebagai bentuk budaya bukan benda oleh United Nations Education Sosial and Cultural Organization (UNESCO).

Maka, hari itu, istri wakil gubernur Jabar, Ny. Sendy Yusuf pun melakukan hal yang barangkali tak pernah dia lakukan sebelumnya. Bersepeda sambil mengenakan batik. Tentu saja dikawal. Di depannya ada OB van sebuah radio swasta yang akrab sekali dengan komunitas sepeda, juga vooraider yang selalu mengawal rombongan.

Di sekelilingnya, selain ajudan, beberapa PNS dan penggiat batik, ada juga para pentolan komunitas bersepeda. Mulai dari Bike 2 Work Bandung, hingga komunitas Sapedah Baheula yang tampak 'matching' sekali dengan batik. Perjalanan yang dimulai dari rumah dinas wakil gubernur di bilangan Dago itu berakhir di Gedung Sate pukul delapan lewat tiga puluh.

* * *

Saya harap acara batik berbatik itu tidak hanya berakhir di hari ini saja. Kekhawatiran yang didasari beberapa pengalaman bahwa penggunaan batik, jika itu karena trend, apalagi ikut-ikutan, tentu tak akan berlangsung lama. Ingat trend batik setahun lalu yang lantas menurun? atau masa ketika para selebritis ramai-ramai berbatik ria karena takut klaim Malaysia yang menjarah segalanya? Mudah-mudahan itu tak berulang kali ini.

Biar begitu, Batik sebagai batik, bukan sekedar produk fashion yang tergantung pada penggunanya, pasti tak pernah lenyap. Makanya ditetapkan sebagai warisan dunia, karena batik telah menjadi sandaran hidup orang banyak. Batik telah berkembang sedemikian rupa. Boleh jadi sudah mewujud sebagai budaya - jika kita menggunakan definisi 7 unsur budaya dari Koentjaraningrat.

Ah iya, di acara ini, saya bertemu dengan keluarga yang telah menjadikan batik sebagai jalan hidup mereka. Keluarga Hasan dengan Hasan Batiknya. Pertemuan saya dengan Tri Asayani, anak ketiga dari alm Hasanudin; begitu menginspirasi sehingga tulisan ini ada. Hari ini, beberapa memori di masa lalu, seolah berkelebat begitu saja.

Almarhum Hasanudin adalah kawan baik ayah saya, Ahmad Hidayat, sejak lama. Jauh sebelum saya lahir. Sejak mereka masih bujangan dan aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII), sebuah organisasi kader yang telah eksis sejak lama dan banyak mewarnai pergerakan Islam di Indonesia. Oom Din, begitu kami memanggilnya.

Sepanjang saya bisa mengingat, di rumah keluarga Hasanudin di bilangan Muararajeun selalu ada aktifitas membatik. Jaman dulu, ketika saya masih bocah, rumah Muararajeun selalu menyajikan pesona sendiri. Bau malam panas, peralatan canting, cap tembaga dengan berbagai motif geometris, dan hasil karya terpajang di mana-mana. Rumah yang penuh dengan kreatifitas.

Pak Hasan, begitu koleganya memanggil Drs. Hasanudin, adalah seorang dosen di FSRD ITB yang juga praktisi dan seniman batik. Dia mendesain, memproduksi, hingga menjual batik yang kemudian diberi brand Hasan Batik. Motifnya unik, mengeksploitasi berbagai macam ragam hias, mulai dari tradisional, geometris, juga kombinasi keduanya.

Di salahsatu situsnya, disebutkan bahwa salah satu ragam hias yang diciptakan oleh Batik Hasan Bandung adalah batik tambal (patch-work-batik) dengan efek 3 dimensi yang menggunakan proses cap, canting, colet dan celup.

Batik Hasan kini dikelola oleh anak-anaknya Oom din setelah beliau wafat. Anak kedua keluarga itu Sania Sari, kami biasa memanggilnya Mbak Nia, meneruskan kelangsungan bisnis batik ini. Mewarisi usaha batik yang dirintis ayahnya, juga darah saudagar Batik dari kakek mereka yang asal Pekalongan, H. Syakur, mertua Pak Hasan. Sedangkan Mbak Yani, panggilan kami untuk Tri Asayani, selain mewarisi darah seni Oom Din, juga mewarisi kreatifitas yang dia asah di Jurusan Kriya Tekstil FSRD.

Hari itu, Yani ada di sana sebagai salah satu pengurus YJBJ. Batik Hasan adalah salah satu pengrajin yang dirangkul istri wagub Dede Yusuf dalam yayasan yang digagasnya. Bersama Batik Komar dan banyak pengrajin lainnya di Jawa Barat. Tujuannya mulia, selain ingin melestarikan batik-batik di Jawa Barat, juga sekaligus ingin mengangkatnya ke permukaan. Kapasitasnya sebagai istri wagub Jabar memunculkan kepedulian Ny. Sendy melakukan itu.

Sedikit berbincang dengan Yani tadi pagi membuat saya optimis akan keberadaan Hasan Batik yang mulai dikenal sebagai Batik Bandung ini. Cita-cita ayahnya yang ingin Bandung punya ciri khas batik sendiri, tampak mulai terlihat terang. Bandung yang tidak pernah tercantum dalam peta batik nusantara dia harapkan tidak hanya sebagai pengguna, tetapi juga penghasil batik. Seperti halnya batik Trusmi dari Cirebon, batik Priangan serta batik Garutan. Kelak Bandung bakal dikenal juga lewat Batik Bandung-an atau Hasanudin-an di jagat batik nusantara.


* * *

Di Masjid tempat saya biasa Shalat Jumat tadi siang, ada pemandangan yang agak berbeda. Kebanyakan orang berbaju batik. Mirip acara kondangan saja. Hanya sedikit terlihat baju koko, sudah tergantikan oleh batik. Hmm, jangan-jangan orang-orang mengganti koko dengan batik karena takut dicurigai. Maklum, stigma baju koko, celana ngatung atau jenggot agak kencang belakangan ini. Meskipun faktanya, ramainya batik hari itu disebabkan karena banyak instansi yang mewajibkan karyawannya berbatik. seperti yang diimbaukan gubernur Jabar, juga presiden SBY.

Fenomena ramainya batik di hari ini semakin membuat saya yakin bahwa Batik di Indonesia akan tetap ada. Karena batik bukan cuma soal menggoreskan motif di atas bentangan kain. Bukan cuma soal pakaian dress code ke undangan atau acara-acara resmi, atau jadi alat buat ABG yang ingin tampil dewasa.

Batik adalah etos kerja. Sebagaimana yang diungkap Oom Din dalam tesisnya "Etos Dagang Santri Batik Pesisir" ketika dia melanjutkan pendidikan S-2nya tahun 1993. Tesis ini kemudian dibuatnya jadi buku dan sering dijadikan referensi dalam berbagai buku mengenai batik terutama pada buku dari luar Indonesia.

Lalu, seperti halnya etos dagang santri yang tak pernah mati, batik akan terus menempati tempatnya tersendiri yang istimewa. Tempat di mana banyak keluarga macam keluarga Hasan Batik menggantungkan hidupnya dan terus berjuang melestarikan batik. Biarpun kelak, barangkali diklaim negara tetangga, atau anak-anak muda sudah mulai kehilangan selera dan meninggalkannya, batik akan terus ada.

Fakta bahwa Penetapan batik sebagai bentuk budaya bukan benda oleh United Nations Education Sosial and Cultural Organization (UNESCO) hari itu memang membanggakan. Sama halnya dengan saya yang bangga dan terkenang akan dedikasi satu-satunya seniman batik terbaik yang pernah saya kenal, alm. Drs. Hasanudin. Semoga Tuhan selalu memberikan terang padanya.


Bandung, Suniaraja: 02102009

Arif Zaidan
-tribute to Oom Din-

Monday, July 03, 2006

Langki Nge-Blog

Hmmm... sudah lama nggak nge-blog. Kangen juga :) Padahal ada piala dunia 2006. Padahl, Italia masuk semi final dan ketemu Jerman. Padahal, banayak kejadian yang bisa diceritakan.

Tapi... satu saja kurangnya: Hoream. Bahasa Indonesianya sih Males. Dan itu fatal. Untunglah ini bukan web yang update berita.

Tapi, rugi juga... apalagi kalau memang dari awal saya memaksudkan blog ini sebagai alat untuk mengasah sense menulis.

Ah sudahlah. Mungkin lain kali.

Friday, May 26, 2006

Make It With U*

Hey have you ever tried,
Really reaching out for the other side?
I may be climbing on rainbows
But, baby here goes.

Dreams they're for those who sleep,
Life is for us to keep,
And if you're wond'ring
What this song is leading to

I want to make it with you
I really think that we can make it girl.

No, you don't know me well,
In ev'ry little thing only time will tell,
If you believe the things that I do.
And we'll see it through.

Life can be short or long,
Love can be right or wrong,
And if I choose the one
I'd like to help me through,

I'd like to make it with you
I really think that we can make it girl.

Baby you know that
Dreams they're for those who sleep,
Life is for us to keep
And if I choose the one
I'd like to help me through,

I'd like to make it with you
I really think that we can make it girl.

* kalau tak salah, lagu ini dinyanyikan oleh BREAD.

Wednesday, May 24, 2006

Abah Jaler Ambu (baca: Abah dan Ambu)

Salah satu ritual pasangan baru adalah menentukan panggilan. Terdengar remeh memang, tapi sebetulnya sangat menentukan. Alasannya, panggilan ini akan berlaku seumur hidup pasangan tersebut. Akan berlaku pula untuk anak-anak mereka, dan (boleh jadi) bagi teman-teman yang mengenal dekat pasangan itu.

Sebagai pasangan baru, kami pun demikian. Seolah tak mau kalah dengan anak-anak bau kencur masa kini yang bahkan di masa pacaran mereka sudah saling memberikan nama khusus bagi pasangannya, dengan gengsi tingkat tinggi sebagai pasangan sah dan legal secara hukum, agama dan negara, di masa awal pernikahan saya, agenda pemberian panggilan masing-masing pun dirancang.

Sebagian pasangan memang akhirnya menentukan panggilan bagi mereka dengan Bapak-Ibu, Ayah-Bunda, Papa-Mama, Papi-Mami. Semua itu ikut jadi bahan perhitungan kami juga, meskipun pada akhirnya, kami memutuskan bahwa panggilan kami satu sama lain adalah Abah dan Ambu.

Jadi, saya memanggil Viky dengan Ambu, dan Viky memanggil saya dengan Abah. Awalnya memang terasa janggal, akadang kami sendiri masih kegelian, maklum pasangan baru, segalanya masih bulan madu, masih mengalami – yang Prof. DR. Dedy Mulyana katakan sebagai – Gegar Budaya (Culture Shock). Belakangan, kami mulai terbiasa. Orang tua kami pun terkadang memanggil kami dengan panggilan itu.

Konotasi Abah-Ambu memang agak sedikit menggelikan. Setahu saya, dalam cerita rakyat si Kabayan, orang tuanya Iteung – yang namanya pun sampai saat ini saya tak pernah tahu – disebutkan di sana hanya Abah dan Ambu saja. Abah memang salah satu panggilan terhadap orang tua laki-laki, di samping Bapa (tanpa huruf K). Sedikit mengadopsi dari bahasa Arab, “Abu” yang berarti Bapak, akhirnya identitas Abah ini semakin menguat sebagai kata ganti ‘Bapak’ dalam bahasa Sunda.

Sedangkan Ambu, adalah panggilan Ibu dalam bahasa Sunda. Dalam mitologi Sunda, khususnya dalam cerita Sangkuriang, ‘Dewa’ paling berkuasa yang menentukan segala sesuatu adalah Sunan Ambu. Para feminis, kalau mereka mengetahui hal ini, tentu akan merasa senang, karena penguasa tertinggi di kahyangan, yang mengusir dan mengutuk si Tumang ke Bumi adalah perempuan. Si Tumang ini kelak menjadi bapak dari Sangkuriang. Jadi, panggilan Ambu buat saya merupakan sebuah penghargaan juga pada perempuan, mengingat posisi Sunan Ambu tadi.

Kini, dengan adanya Zahra, makinlah panggilan itu terteguhkan. Saya membahasakan diri saya sebagai Abah ketika menyapa si kecil, pun begitu pula dengan Ambu Viky. Zahra pun mulai terbiasa, meskipun kelak, ketika ia bersekolah nanti, mungkin agak mengalami sedikit keheranan ketika menyadari panggilan yang sedikit berbeda dengan teman-temannya memanggil orang tua mereka. Tapi, tak apalah, hal itu masih bisa dipikirkan nanti.

Tapi, sejujurnya, saya bangga dengan panggilan ini. Sebagaimana saya bangga menunjukkan identitas etnis saya sebagai orang Sunda. Memang bukan dimaksudkan secara tidak langsung sebagai sebuah upaya pelestarian budaya, tapi, kalau memang efeknya bisa seperti itu, jelas itu tak masalah… sama sekali tak masalah.

Tuesday, April 25, 2006

Setahun Menikah, Selamanya Barakah

Rupanya sudah setahun. Tak terasa begitu lama, tapi juga tak lantas sangat tiba-tiba. Bukan tergesa juga, tapi akhirnya usia pernikahan saya menginjak tahun pertama.

Dua puluh empat April lalu, setahun sudah saya menikah. Maka, bolos sehari pun menjadi hal yang tak berarti dibandingkan dengan pentingnya hari itu. Pikir saya, tak apalah bolos sehari, di hari Senin pula, untuk sekedar bersantai di rumah menemani si kecil bermain. Toh, hari macam ini takkan datang setiap hari.

Sepanjang pagi hingga siang saya hanya berdiam di rumah. Hujan turun sepanjang pagi itu, membuat saya malas beranjak dari tempat tidur. Sedikit bergerak ketika harus menidurkan kembali si kecil yang baru saja mandi. Jarang sekali saya menikmati kesempatan macam ini, apalagi di saat orang lain bekerja di hari Senin.

(kalau soal mengulangkan kembali "malam pertama" di pagi hari, tak perlu lah saya ceritakan di sini hehehehehe...)

Saya benar-benar menikmati hari itu. Selepas Ashar, kami memutuskan untuk ke luar rumah. Jalan-jalan di Mall bertiga saja. Kesibukkan mall di akhir pekan seolah hilang begitu saja. Hari Senin memang harinya orang bekerja. Maka parkir pun begitu mudahnya di dapat, di tempat yang strategis pula, semudah perjalanan kami ke sana yang terbebas dari kemacetan.

Hmmm... setahun berlalu sudah rupanya. Kini, ketika berjalan di Mall saya malah menjumpai diri saya yang tengah menggendong buah hati kami. Tak banyak yang dilakukan, sekedar berjalan-jalan, memanjakan diri sendiri seharian, sedikit berbelanja juga, hingga akhirnya kami mencari tempat Shalat, sudah Maghrib rupanya. Tak terasa.

Selepas maghrib, kami putuskan untuk mencari tempat makan. Kalau dulu, kami bisa makan sembarangan, tak terlalu memikirkan situasi, kondisi dan banyak hal. Kini sudah berbeda. Memiliki bayi, rupanya bisa mengubah segala sesuatu. Sampai pemilihan tempat makan pun kami usahakan untuk "baby friendly".

Kartika Sari di Dago akhirnya jadi pilihan. Suasananya enak, dan tempatnya luas pula untuk sekedar memarkir kereta bayi di samping meja kursi tempat kami bersantap. Zahra tertidur ketika kami makan. Ia rupanya tahu, kalau saya dan Viky ingin mengenangkan setahun kami menikah dengan berbicara banyak hal. Mungkin mengevaluasi pernikahan kami setahun ini, meskipun pada kenyataannya, kami malah kangen-kangenan dengan kenangan masing-masing saat seusia sekolah dasar.

Itu pun tak mengapa, karena ternyata, di hari kami menikah ini, saya dan Viky bisa tertawa puas, membikin perut sakit, dan tersedak kopi. Tak sering saya mengalami hal ini. Padahal kami hanya membicarakan kekonyolan apa yang masing-masing lakukan. Mengingat joke apa yang dulu jadi trend, dan sedikit kenakalan-kenakalan yang masih bisa diingat.

Pernikahan kami memang baru setahun, tapi mengenangkan masa kecil membuat saya menyadari kalau hidup terus berjalan maju. Terlebih ketika menyadari kalau masa depan masihlah misterius dan itu membuat kami harus terus berjalan maju.

Beres makan, Zahra mulai terbangun. menyadarkan kami ke masa kini. Memang sudah waktunya kami pulang. Pernikahan kami memang baru setahun, masih banyak yang belum dilakukan. Masih banyak yang harus diperbaiki. tapi, menjadi optimis kalau pernikahan ini bakal barakah selamanya, bukanlah hal terlarang untuk diharap di hari itu. Harapan kalau Allah bakal menuntun kami di sisa umur pernikahan ini.

Mudah-mudahan...

"...Rabbanaa hablanaa min azwazinaa wa dzurriyatinaa qurrata a'yuunin waj'alnaa lil muttaqqiina imaama..."

Konservativitas dan Potong Rambut

Akhirnya potong rambut.
Dua hari menjelang 1st anniversary pernikahan, saya memutuskan untuk bercukur. Seperti yang dikatakan Hawe, maknanya boleh jadi adalah silaturahmi pada tukang cukur. Lainnya, menyenangkan orang tua. Pada siapa lagi kita harus menurut kalau bukan sama mereka, bukan?

Soal bercukur ini, ada hal yang menarik. Rupanya, saya termasuk konservatif soal potong rambut. Ketika ditanyakan oleh tukang cukur - bukan Salon - mau digimain modelnya, saya speechless. Terus terang saya bingung. Saya cuma tahu kalau dicukur itu berarti dirapihkan rambutnya dengan memotong bagian-bagian yang sudah panjang. Selain itu, mungkin ditipiskan juga. Maka jadilah model rambut seperti yang saya anut selama ini - selama berpuluh tahun ini - belah pinggir, dengan sedikit poni dan pinggir-pinggir yang rata.

Tukang cukur - yang kelihatannya sudah melek mode - itu sendiri sempat menawari. "Mau di zig zag, A?" tanyanya. Lantas dengan polos saya menjawab, "emang kayak gimana, Kang?" Ia kemudian menerangkan kalau zig zag berarti cuma ditipisin rambutnya tapi panjangnya sama. Dalam bayangan saya, mungkin itu potongan rambut yang tengah ngetrend seperti yang ABG-ABG itu lakukan. "Mirip-mirip Junot kali, ya?" begitu pikir saya.

Tapi lagi-lagi konservativitas saya mengatakan tidak. Toh dulu, ketika rambut spike tengah ngetrend, saya tidak ikut-ikutan. Atau ketika aktor-aktor mandarin dengan cukuran gaya Andy Lau banyak ditiru, saya sama sekali bergeming. Nah, sekarang pun bukan perkecualian. Akhirnya saya bilang kalau saya cuma butuh dirapihkan ujung-ujungnya saja yang mulai tidak teratur, ditipiskan sedikit, boleh, lah!

Itu semua berarti status quo rambut masih tetap terjaga. Saya tetap terlihat seperti anak baik-baik (yang sekarang punya anak :)), alih-alih seperti Bapak-bapak ABRI mapan macam Wiranto atau bahkan SBY yang cukurannya begitu... klasik.

Cukuran pun beres, hingga akhirnya saya pulang dan mendapati istri saya berkomentar dengan sesuatu yang tak pernah saya duga. "Wah ngikutin mode ya?" katanya. Dalam kebingungan saya, Ia berkomentar lagi, "Kamu jadi mirip vokalisnya UNGU deh, itu loh, yang nyanyi...'dan deemii waktuuu....'," celetuknya sambil memandang aneh pada saya.

"Waduh, koq jadi kayak gini sih?" pikir saya.

"Tapi tenang koq, sayang, Aku tetap menerima kamu apa adanya," katanya kemudian dengan manja - masih di tengah kebingungan saya.

Saya pun teringat dengan postingan terakhir saya di blog ini, "jadi sekarang, apa makna semua usaha potong rambut ini?"

Friday, April 21, 2006

Mencari Makna dan Memotong Rambut

Saya tak jadi potong rambut. Tapi pasti takkan lama lagi. Kemarin tak jadi karena kaul kemenangan Juve yang berimbas pada pemotongan rambut tak pernah terlaksana.

Katanya, dengan rambut seperti ini, saya malah terlihat kucel, kendatipun saya tak terlalu ambil pusing dengan itu. Tapi dipikir-pikir, memang ada benarnya juga. Rambut gondrong ini membuat saya agak sulit untuk membuatnya terlihat rapi.

Di kantor, boss saya, seorang perempuan, kelihatannya sudah bosan dengan penantian di hari Senin untuk mendapati anak buahnya sudah rapi seperti sedia kala. Di rumah (saya masih menumpang hidup di rumah ortu), Mamah berkali-kali menanyakan kapan saya akan potong rambut.

Viky sendiri tak terlalu mempermasalahkannya. Dia, (ahem!!) menerima saya apa adanya hehehehe… Meskipun sempat beberapa saat lalu ia mengatakan kalau saya kurang pantas dengan rambut seperti ini, terlihat kucel katanya.

Sebelumnya saya sempat menyangsikan kegondrongan ini. Tapi komentar beberapa rekan di tempat kerja semuanya seragam. “Gondrong ya sekarang?” Semua itu makin meyakinkan saya kalau saya memang sudah gondrong sekarang. Hampir menyamai saat-saat kuliah dulu lah.

Tapi tenang, saya pasti bakal potong rambut. Kelihatannya tak lama lagi, karena besok Minggu ada undangan pernikahan sahabat baik istri saya.

Jadi sebenarnya apa ya, makna semua kegondrongan ini?

Thursday, April 20, 2006

Pindah Ke Jakarta?

Apa ya, yang akan terjadi,
Jika saya jadi pindah ke Jakarta?

Anda bisa menjawab pengandaian ini?