from A(rif) to Z(aidan): sebuah cap diri berisikan segala macam yang tak teratur... perjalanan hidup; ziarah dunia; egoisme; etnosentrisme; (mungkin) ide; celetukan; isi hati; orat-oret; usul-usil; supat-sepet; ekspektasi masa depan; kerinduan akan surga di akhirat kelak

Wednesday, May 24, 2006

Abah Jaler Ambu (baca: Abah dan Ambu)

Salah satu ritual pasangan baru adalah menentukan panggilan. Terdengar remeh memang, tapi sebetulnya sangat menentukan. Alasannya, panggilan ini akan berlaku seumur hidup pasangan tersebut. Akan berlaku pula untuk anak-anak mereka, dan (boleh jadi) bagi teman-teman yang mengenal dekat pasangan itu.

Sebagai pasangan baru, kami pun demikian. Seolah tak mau kalah dengan anak-anak bau kencur masa kini yang bahkan di masa pacaran mereka sudah saling memberikan nama khusus bagi pasangannya, dengan gengsi tingkat tinggi sebagai pasangan sah dan legal secara hukum, agama dan negara, di masa awal pernikahan saya, agenda pemberian panggilan masing-masing pun dirancang.

Sebagian pasangan memang akhirnya menentukan panggilan bagi mereka dengan Bapak-Ibu, Ayah-Bunda, Papa-Mama, Papi-Mami. Semua itu ikut jadi bahan perhitungan kami juga, meskipun pada akhirnya, kami memutuskan bahwa panggilan kami satu sama lain adalah Abah dan Ambu.

Jadi, saya memanggil Viky dengan Ambu, dan Viky memanggil saya dengan Abah. Awalnya memang terasa janggal, akadang kami sendiri masih kegelian, maklum pasangan baru, segalanya masih bulan madu, masih mengalami – yang Prof. DR. Dedy Mulyana katakan sebagai – Gegar Budaya (Culture Shock). Belakangan, kami mulai terbiasa. Orang tua kami pun terkadang memanggil kami dengan panggilan itu.

Konotasi Abah-Ambu memang agak sedikit menggelikan. Setahu saya, dalam cerita rakyat si Kabayan, orang tuanya Iteung – yang namanya pun sampai saat ini saya tak pernah tahu – disebutkan di sana hanya Abah dan Ambu saja. Abah memang salah satu panggilan terhadap orang tua laki-laki, di samping Bapa (tanpa huruf K). Sedikit mengadopsi dari bahasa Arab, “Abu” yang berarti Bapak, akhirnya identitas Abah ini semakin menguat sebagai kata ganti ‘Bapak’ dalam bahasa Sunda.

Sedangkan Ambu, adalah panggilan Ibu dalam bahasa Sunda. Dalam mitologi Sunda, khususnya dalam cerita Sangkuriang, ‘Dewa’ paling berkuasa yang menentukan segala sesuatu adalah Sunan Ambu. Para feminis, kalau mereka mengetahui hal ini, tentu akan merasa senang, karena penguasa tertinggi di kahyangan, yang mengusir dan mengutuk si Tumang ke Bumi adalah perempuan. Si Tumang ini kelak menjadi bapak dari Sangkuriang. Jadi, panggilan Ambu buat saya merupakan sebuah penghargaan juga pada perempuan, mengingat posisi Sunan Ambu tadi.

Kini, dengan adanya Zahra, makinlah panggilan itu terteguhkan. Saya membahasakan diri saya sebagai Abah ketika menyapa si kecil, pun begitu pula dengan Ambu Viky. Zahra pun mulai terbiasa, meskipun kelak, ketika ia bersekolah nanti, mungkin agak mengalami sedikit keheranan ketika menyadari panggilan yang sedikit berbeda dengan teman-temannya memanggil orang tua mereka. Tapi, tak apalah, hal itu masih bisa dipikirkan nanti.

Tapi, sejujurnya, saya bangga dengan panggilan ini. Sebagaimana saya bangga menunjukkan identitas etnis saya sebagai orang Sunda. Memang bukan dimaksudkan secara tidak langsung sebagai sebuah upaya pelestarian budaya, tapi, kalau memang efeknya bisa seperti itu, jelas itu tak masalah… sama sekali tak masalah.

2 Comments:

Blogger Soleh Solihun said...

asal ulah engke pas zahra geus gede, bobogohan jeung jelema nu sifatna siga si kabayan we nya rif. hehehe.

12:11 PM

 
Blogger zaidan said...

zahra mah rek jiga urang, leh, moal bobogohan, rek langsung dinikahkeun we mun geus cukup jodo jeung cukup umur. he he he he

12:25 PM

 

Post a Comment

<< Home