Betah...Pindah...Betah...Pindah (baca: Tok...ke... tokk...kkeee... tokkk....kkkeeee...dst )
Beberapa hari lalu, seorang teman lama bertanya pada saya," How about your worklife? Enak ya di sana?". Pertanyaan yang singkat, tapi butuh jawaban yang sama sekali nggak singkat. Sang teman - dulu sekelas di SMA selama tiga tahun - memang tidak berhasil mendapatkan jawaban dari pertanyaan singkatnya, Yahoo Messenger saya keburu mati. Tapi bukan berarti saya tidak memikirkan jawabannya.
Seingat saya, pertanyaan ini banyak diberikan saat awal-awal lulus dan baru saja bekerja. "Gimana kerjaan, Betah ya? Waaah.. sukses ya..!" Agak terdengar klise, juga basa-basi, dan saya pun menanggapinya dengan nada basa-basi serupa, " Yah, gitu lah... dibetah-betahin...!" jawab saya. Terkadang sambil terselip pula lelucon kalau di tempat kerja ini saya bukan betah, tapi 'butuh'!. hehehehehe...
Cukup lama saya tidak mendapati pertanyaan tentang pekerjaan. Hampir dua tahun saya pikir. Mungkin karena sudah bukan waktunya lagi, atau orang bisa dengan gampang saja menyimpulkan ketika melihat lamanya waktu kita bekerja di sebuah tempat. "Tiga tahun lebih, ya? Wah berarti betah dong?" begitu kata orang-orang baru yang menanyakan sudah berapa lama bekerja di tempat ini.
Tapi, menurut saya, lamanya waktu dan tingkat kenyamanan bekerja bukanlah hal-hal yang berbanding lurus satu sama lain. Di tempat saya bekerja, sebuah pabrik cat yang usianya sudah lebih dari tiga puluh tahun, beberapa karyawan (baca: buruh) senior ada yang masa kerjanya lebih dari dua puluih tahun, dan ia tetap berada di posisinya sebagai buruh. Lantas, apakah itu berarti ia betah? soal itu, faktanya memang seperti candaan saya saat ditanyai pertanyaan serupa. Bukan BETAH... tapi BUTUH.
"Yah, mau gimana lagi? kemampuan cuma segini... kalau mau pindah juga pindah ke mana? Nya atos we Bapa mah kieu wae geuningan," katanya lirih. menyedihkan memang. Ada pertentangan antara keinginan dan kemampuan, lalu ujung-ujungnya, drive yang mengendalikan keputusan tetap pada duit. "Mau dari mana lagi?"
Benar kan?, kebanyakannya bukan mempersoalkan tentang betah atau tidak, tapi butuh atau tidak.
Betah atau tidak memang harus dilihat dari banyak hal. Alasan seseorang betah bekerja di sebuah tempat bisa jadi beragam. Ada yang karena gaji atau salarynya yang sangat memadai. "Bagaimana tidak betah, kalau sebulan sekali rekening kita ditransferkan uang senilai tiga puluh juta rupiah?" cetus seorang rekan karyawan baru yang baru tahu kalau gaji managernya sekira segituan. "Urang oge daek lah mun gaji sakitu mah!" Saya pun menanggapinya dengan tak kalah antusias, "Nya heu euh atuh, saha nu teu daek?" (ya iya dong, siapa yang gak mau?)
Selain gaji, ada juga yang karena alasan lingkungan kerja yang kondusif, teman-teman yang mendukung, boss yang baik dan penyayang hingga alasan remeh macam kesempatan untuk chatting dan mengurusi friendster, atau soal ada kecengan di tempat kerja.
Atau mungkin alasan-alasan pribadi juga bisa dimasukkan di sini. Seorang teman bilang di lingkungan kerjanya, dia bisa Shalat tanpa telat. "Di tempat lain belum tentu saya bisa dapat kesempatan seperti ini!" ujarnya polos.
Ah iya hampir lupa, alasan yang penting itu bernama 'Jenis Pekerjaan' dan tingkat kesesuaian dengan kemampuan atau kesenangan. Mirip dengan roman Si Doel yang tak kunjung dapat kerja karena merasa tidak sesuai dengan kemampuan, alasan ini kerap juga digunakan untuk tidak pindah: "Karena sudah cocok."
Maka, kalau pekerjaan sudah cocok dengan panggilan hati, pekerjaan itu akan dijalani dengan tulus ikhlas. "Itu sih kata orang-orang HRD," begitu kata teman saya yang lain. "Jadi salah kalau lantas untuk membuat orang nyaman, mereka tidak membenahi sistem kepegawaian yang masih urdu, justru malah mengampanyekan kata mutiara 'LOVE YOUR JOB' di mana-mana," teman lain bersungut menanggapinya.
Tapi... alasan-alasan di atas juga bisa digunakan secara terbalik untuk kasus PINDAH KERJA. Alasan-alasan di atas bisa dinegasikan juga. Orang bisa pindah dengan alasan salary, lingkungan kerja, alasan pribadi juga alasan pekerjaannya.
Nah, ini pun mengingatkan saya akan 'janji' pada beberapa karib di Jakarta saat saya bilang sama mereka kalau kelak saya akan ke Jakarta. (Tapi janji itu dibuat tiga tahun lalu saat masih bujangan:))
'Janji' itu memang belum sempat ditepati. Terlalu banyak hal yang menahan saya untuk tidak pindah ke Jakarta. Soal anak istri, ini yang paling utama. Kalau yang lainnya, silahkan berprasangka. Mungkin saya masih betah di Bandung, mungkin saya belum berani menantang ibu kota, mungkin gaji saya tiga puluh juta sebulan (GAK MUNGKIIIINN!!!), mungkin kekhawatiran di tempat kerja baru saya lupa akan kewajiban shalat lima waktu... dan sekian mungkin-mungkin lainnya.
Jadi, kapan saya akan menjawabkan pertanyaan sang teman? hehehehe soal ini saya belum bisa menjawabkannya, at least sampai saat ini. Jadi, selamat berprasangka... toh, samapai ini diketikkan, saya masih belum beranjak dari kursi yang sama saat diduduki tiga tahun lalu :)
Ah iya satu lagi, kadang kala pertimbangan logika tidak selalu menjadi satu-satunya alasan kenapa kita memutuskan ini atau itu...
"gak pentiing bangett!!!" :(
4 Comments:
Betul, pak. Kadangkala memang tidak butuh logika untuk memutuskan sesuatu. Sepanjang sesuatu yang dikejar itu berharga, maka kejarlah (Zaidan, 2005).
Masalah yakin nggak yakin mah nggak akan ada beresnya. Dus, jalani saja pilihannya.
Sampe ketemu di sini! hehehe...
6:56 PM
logika is logika, cinta is cinta hehehehe.
Jadi, sudahkah kau kejar sesuatu berharga itu?
Nah, soal pilihan, sepertinya jalan yang sekarang ada dihadapan belum cukup bisa meyakinkan :)
Kalau ada umur di ladang bolllaa.. kita berjumpa di sana...
9:12 AM
Rejeki mah urusan Allah nya Rif. Rek di Bandung terus oge, Insya Allah masih bisa hirup. Hehehe.
Ngan pertanyaana ayeuna mah; apakah maneh geus cukup tertarik untuk mencoba menaklukan ibu kota? :D
12:53 PM
Wah, jangan-jangan teman sma yang dimaksud adalah saya, hehehe....
3:13 PM
Post a Comment
<< Home