Minggu Sore, Dramatisasi dan Kesadaran
Hmm... Sore yang cerah. Selepas hujan, entah kenapa semuanya terasa begitu terang. Apakah Kartini mengalami pengalaman macam ini juga ketika menulis karyanya yang terkenal, "Habis Gelap Terbitlah Terang"? Kalau soal itu, saya tidak yakin. Satu hal yang saya yakini saat ini adalah sebuah kenyataan kalau Minggu ini adalah Minggu terakhir di tahun 2005, pekan depan, tahun sudah berganti menjadi 2006.
Hujan tadi memang tidak saya rasakan langsung. Kabarnya, deras sekali air yang tercurah dari langit. Cuma melihat sisa-sisa genangan air yang banyak tergenang di sekitaran jalan Soekarno Hatta pun sudah membuat saya tahu kalau hujan kali ini deras sekali.
Hujan, juga terang setelahnya, kadangkala suka dijadikan sebagai sebuah pertanda (saya sih lebih menyukai untuk menyebutnya sebagai penanda). Dalam komik Slamdunk karya Takehiko Inouei, saat pertandingan Shohoku lawan Sannoh berjalan, hujan mulai turun. Ketka itulah Sannoh mulai menguasai pertandingan, menjadikan Shohoku bulan-bulanan mereka.
Semakin deras hujan, semakin kepayahanlah Shohoku. Hingga akhirnya mereka bangkit (karena upaya sang tokoh utama: Hanamichi Sakuragi, tentunya), di komik itu digambarkan badai mulai mereda, hujan pun sudah berhenti dan matahari pun kembali bersinar dengan terang. Persis seperti yang saya alami saat ini.
Kebangkitan Shohoku dan hujan yang reda adalah sebuah relasi yang diciptakan oleh pengarang. Setidaknya itulah persepsinya yang terkadang merupakan perulangan dari pola yang sama di cerita lain.
Shohoku mengalami kemenangan pada akhirnya, tentu bukan karena hujannya sudah berhenti. Toh, hujan ataupun panas, pertandingan itu dilangsungkan di gedung olahraga tertutup, tidak ada pengaruhnya sama sekali, kecuali bunyi-bunyian di atap. Tapi, sebagaimana yang diinginkan pengarang, unsur dramatis yang bisa mengusik sisi emosional pembaca akhirnya terbangun. Dramatisasi macam ini kelihatannya mutlak adanya dalam sebuah cerita.
Dramatisasi serupa bisa dilihat di komik Shin Tekken Chinmi yang di Indonesia diterbitkan dengan judul New Kungfu Boy. Ketika Chinmi ikut sebuah pemberontakan pada seorang penguasa lalim di daerah Ka Nan, entah mengapa pertarungan Chinmi dengan Jenderal Boru, sang jagoan musuh usai pada saat fajar menyingsing. Pemberontakan itu bisa mereka menangkan dan kemenangan pun menjadi milik rakyat seiring dengan munculnya matahari di ufuk timur.
Lalu, seperti halnya tokoh-tokoh fiksi macam Chinmi dan Sakuragi atau tokoh-tokoh nyata seperti Kartini, saya pun sama mengalami peralihan dari hujan deras ke terangnya suasana seusainya. Bedanya, saya tak merasakan dramatisasi yang sama kecuali menyadari bahwa tahun 2005 segera usai.
Banyak hal luar biasa saya alami di 2005 ini. Melepaskan status lajang, menjadi seorang bakal ayah, punya mertua, pergi ziarah umrah ke tanah suci dan serentetan kejadian lainnya yang terjadi di tahun ini. Kini, tahun luar biasa itu hampir berakhir, nyarisberganti di tahun 2006 yang sebenarnya tidak melakukan apapun untuk saya.
Pergantian tahun, sesungguhnya sama saja dengan pergantian bulan, minggu, hari, menit bahkan detik. Hidup kita terus maju, sementara kita meninggalkan sesuatu yang disebut masa lalu. Semuanya memang terasa cepat seperti sebuah kelebatan. Tahu-tahu, saya sudah menikah, tahu-tahu saya sudah berusia 27 tahun di tengah tahun depan, dan sekian banyak tahu-tahu lainnya.
Tahu-tahu, saya pun sudah menuliskan begitu banyak di saat ini, saat menunggui sang istri bertugas sore ini. Sedikit membagi kesadaran pada Anda, sungguh saya tak bermaksud menggurui. Ya, hanya sedikit berbagi, kalau menjelang penghujung tahun ini saya menyadari kalau hidup begitu indah, ketika kita mensyukurinya sangat. Untuk satu hal ini, rasanya saya perlu lebih banyak belajar lagi: Bersyukur pada Sang Maha. Boleh jadi, inilah resolusi yang saya bikin di akhir tahun ini.
Terima Kasih pada Sang Hidup, yang memberikan saya jatah hidup hingga saat ini.
Bandung, 25 Desember 2005: 15.40, Minggu Sore di Penghujung 2005.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home