ZAHRA 'ILMA ZAIDAN (2)
(Bagian Kedua dari Tiga Tulisan)
Hari Rabu, tanggal 1 Februari, kami meninggalkan Rumah Sakit yang menyimpan banyak kisah tak terlupakan. “I’m coming, with my baby. We’re come home, honey.”
Dua hari kemudian, kewajiban pertama saya atas bayi yang baru lahir ini terlaksana. Sebuah keterangan yang Shahih menyebutkan kalau setiap bayi yang terlahir itu tergadai, hingga ditebuskan untuknya pada hari ketujuh sembelihan domba atau kambing. Seekor untuk bayi perempuan dan dua ekor untuk bayi laki-laki. Sembelihan itu kemudian dibagikan pada yang membutuhkan.
Setelah itu, rambutnya dicukur habis dan kemudian ditimbangkan berat rambutnya untuk dikonversi senilai gram emas. Jumlah itulah yang harus dibayarkan sebagai sedekah pada yang berhak. Rangkaian terakhir penebusan itu adalah pemberian nama yang bagus.
Soal nama ini, beberapa waktu sebelum persalinan, kami sempat membincangkannya. Berawal dari kekaguman kami pada Putri Nabi, Fathimah Az-Zahra R.A. (Semoga Ridha Allah tercurah atasnya), maka kami pun berniat mengambil gelar indah itu untuk putri pertama kami.
Pikiran serupa, ternyata datang dari mertua saya, Ia memesankan Zahra atau Fathimah sebagai nama awal bagi cucu pertamanya. Klop! Belum lagi ada cerita menarik tentang nenek kami yang saat ditanya oleh seseorang tentang siapa nama buyut pertamanya, dengan spontan ia menjawab “ZAHRA”. Padahal saat sang bayi belum pula kami berikan nama dan saat itu tidak ada satu orangpun yang memberi tahu nenek tentang bakal nama bayi ini. Hmm… Is it a sign? Saya tidak tahu.
Beberapa hari di Rumah Sakit tempo hari memberikan kami banyak waktu luang – di luar mengganti popok bayi dan menungguinya fototerapi – untuk semakin mematangkan nama yang hendak disematkan pada anak ini. “Zahra ‘Ilman Zaidan” kemudian menjadi pilihan. Belakangan, nama tengahnya diganti dengan ‘Ilma. Rupanya penggunaan huruf ‘N’ menjadikannya berkesan maskulin, setidaknya itu yang dirasakan beberapa orang termasuk ayah saya. Alhasil, nama ‘Ilma sebagai pengganti pun di acc.
Kalau soal nama belakang, rasanya tidak ada persoalan. Penggunaan nama belakang Zaidan sudah merupakan keinginan Ambunya dari pertama. Bukan karena kami ingin membentuk sebuah klan bernama Zaidan, kata Viky, nama Zaidan sudah cukup bagus terdengarnya, selain karena maknanya yang mendalam pula.
Berbicara soal makna, setahu kami, Zahra itu berarti bunga atau sesuatu yang memberikan keharuman. Sedangkan “Ilma berarti Pengetahuan atau ilmu. Lantas Zaidan artinya bertambah-tambah. Maka, jadilah anak kami ini kami beri nama “ZAHRA ‘ILMA ZAIDAN”, dengan harapan tercurah, kelak anak ini bakal seharum bunga karena ilmu dan pengetahuannya yang terus bertambah.
Di Aqiqah hari Jumat itulah akhirnya nama “ZAHRA ‘ILMA ZAIDAN” ditahbiskan, sekaligus menutup rangkaian penebusan kami pada buah cinta kami yang tergadai. Tugas pertama saya sebagai ayah selesai hari itu. Membayar tebusan, mencukuri, dan memberi nama yang indah. Semoga semua upaya ini Allah nilai sebagai wujud dari rasa Syukur atas nikmat-Nya yang berlimpah.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home