from A(rif) to Z(aidan): sebuah cap diri berisikan segala macam yang tak teratur... perjalanan hidup; ziarah dunia; egoisme; etnosentrisme; (mungkin) ide; celetukan; isi hati; orat-oret; usul-usil; supat-sepet; ekspektasi masa depan; kerinduan akan surga di akhirat kelak

Tuesday, October 20, 2009

PERSIB, SEPEDA DAN MIMPI MENYAKSIKAN MESSI

Catatan perjalanan bersepeda ke Stadion Si Jalak Harupat, 14 Februari 2009.

Valentine tempo hari itu akhirnya saya rayakan bersama Acip. Iya! Acip yang itu, tukang gigi yang hobi bikin surat. Berdua saja, kami bersepeda dari Cikapayang ke Stadion Si Jalak Harupat, Soreang. Hari itu diwarnai dengan gowes nonton yang nyaris batal dan Persib yang hampir gagal.

Acip bilang, kalau saja saya tidak meneleponnya, mungkin acara gowes stadion yang diharapkan mentradisi itu bakal batal. Pasalnya, beberapa orang mengabarkan pembatalan mereka. Tapi akhirnya jadi juga, biarpun cuma berdua. Alhasil, pukul lima sore dua sepeda Extrada bertandang ke luar kota.

Seharusnya, kami datang lebih awal. Biarpun lewat jalur potong kompas via Margaasih-Nanjung- Soreang, kami terhambat juga oleh rombongan bobotoh bermotor yang terganjal macet beberapa ratus meter menjelang stadion. Lepas lawan Persipura, bobotoh yang haus kemenangan beramai-ramai datang dan berharap Persib meraih tiga angka di laga ini.

Sampai di stadion, Acip mengontak Heru Joko, gegedug Viking. Selain mengabarkan kedatangan, juga konfirmasi soal tiket masuk yang kini memang harus dibeli. Acip pesan tiga, soalnya, beberapa saat sebelum itu, Dwey mengontak dia dan mengabari sedang ada di perjalanan menuju stadion. Syukurlah, hari Valentine itu akhirnya dirayakan bertiga.

Saat tiket sudah di dapat, kami pun masuk dengan cepat. Bertepatan dengan wasit meniup kick-off tanda pertandingan segera dimulai. Lewat tiga puluh menit pertandingan, Dwey menelepon. Sudah sampai di stadion. Acip yang memegang tiket Dwey segera keluar menjemput. Beberapa menit kemudian, Dwey bergabung di VIP barat. Rombongan sepeda lengkap sudah, tapi hanya bertiga saja.

* * *

Ini pertama kali saya menonton Persib bermain langsung di depan mata. Di stadion besar pula, di mana lampu-lampu ber-watt besar menyala di seluruh penjuru stadion. Menyinari lapangan yang mulus luar biasa. Sungguh, saat itu saya tidak merasa berada di Soreang, sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung, yang bahkan jalannya pun hanya cukup untuk lewat dua mobil.

Tapi, euforia berada di stadion itu berakhir ketika kami berlama-lama duduk di sana. Duduk beralaskan tembok menyadarkan saya bahwa ini Indonesia. Stadion di mana kursi-kursi bernomor hanyalah cita-cita, dan impian menyelenggarakan piala dunia hanyalah mimpi di siang bolong semata. Ah, sudahlah.

Malam itu Persib bermain terburu-buru. Tak ada gol tercipta di babak satu. Bikin gemas saja. Beberapa kali saya berdiri saat ada peluang nyaris berbuah gol, berkali itu pula saya kecewa karena skor masih tetap sama. Acip, begitu juga.

Acip yang orang Jambi mengingatkan saya pada Agung Hawe, karib saya. Bukan kebetulan jika mereka berasal dari daerah yang sama. Mungkin juga karena satu sama lain punya kesamaan, sama-sama suka sepakbola. Dia bilang, boleh jadi ini adalah tahun-tahun terakhirnya di Bandung. Mungkin, menonton Persib bermain adalah salah satu kesenangan yang bakal hilang, ketika dia pulang ke kampung halaman.

Di jeda babak pertama, sambil makan bekal, kami beberapa kali ‘sok-sok’ mengomentari pertandingan. Hingga tak terasa, para pemain mulai memasuki lapangan.

Babak kedua, penonton berharap banyak pertandingan bakal lebih menarik. Lebih menarik memang, tapi tetap saja, gol yang dinantikan tak kunjung datang. Padahal Persib tak henti-hentinya menyerang. Entahlah, rasanya ada yang kurang dari permainan ‘sang pangeran biru’ malam itu. Dewi fortuna, mungkin.

Menjelang peluit panjang, penonton mulai anarkis. Sebagian pulang dengan kecewa, sebagian lagi melempar botol-botol minuman. Hemm.. padahal kami menonton di VIP, tapi perilaku ternyata tak ada kaitannya dengan kemampuan finansial. Tetap saja penonton kampungan ada di mana-mana.

Saya, Dweyy dan Acip hanya geleng-geleng kepala, melihat botol-botol plastik diisi air mulai berseliweran ke arah bench PSM. Acip juga kecewa melihat Persib tidak menang, tapi dia juga kecewa melihat penonton kampungan.

“Wah, gowes pulang bakal lebih capek, nih!” ujar Acip. Disambut dengan senyum Dweyy dan seringai saya. Boleh jadi, bakal lain ceritanya jika Persib malam itu menang, niscaya Kami bakal pulang dengan lebih riang.

* * *

Entah efek kekecewaan atau memang sudah ingin pulang, Dweyy menggeber sepedanya dengan beringas. Saya dan Acip terpaksa harus mengimbangi jika tak mau ketinggalan jauh. Di daerah Lanud Sulaeman, Acip belok kiri memisahkan diri. Perjalanan harus dilanjutkan hingga Dago Pojok.

Saya dan Dweyy masih beriringan. Menuju arah Soekarno Hatta, kemudian belok kiri ke timur menuju Buah batu. Di daerah Parakan Asri giliran Dweyy pamit duluan, sementara saya masih harus mengayuh. Malam semakin pekat, tapi masih ada sekira empat kilometer untuk sampai di rumah. Tak sabar rasanya ingin segera sampai, dan disambut ambu tercinta. Apalagi setelah tahu ada makanan menunggu, dan air panas untuk menyegarkan badan menjelang ke peraduan.

Persib memang imbang, tapi malam itu saya tetap merasa senang. Selain sensasi mencicipi stadion megah, juga ada sedikit mimpi yang mulai tersulam. Entah kapan, suatu waktu, saya ingin melihat Lionel Messi bermain di depan mata kepala sendiri. Mungkin di Nou Camp, atau di stadion lain dalam ajang Liga Champions Eropa, siapa yang tahu? Yang ada mungkin doa, semoga Tuhan memeluk mimpi-mimpi itu.


Tabik!
Bandung, 17 Februari 2009

Tuesday, October 13, 2009

Hari Batik untuk Oom Din

Lihat orang bersepeda di jalan boleh jadi bukan hal yang aneh. Tapi jika bersepeda sambil menggunakan batik, mungkin ini unik. Apalagi sambil konvoi batik bersepeda keliling Bandung.

Yep, hari ini, Jumat (2/10), ketika nyaris semua orang berbatik ria, komunitas sepeda ikutan juga. Apalagi mereka diundang oleh Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB) untuk konvoi berkeliling Bandung dalam rangka memperingati hari penetapan batik sebagai bentuk budaya bukan benda oleh United Nations Education Sosial and Cultural Organization (UNESCO).

Maka, hari itu, istri wakil gubernur Jabar, Ny. Sendy Yusuf pun melakukan hal yang barangkali tak pernah dia lakukan sebelumnya. Bersepeda sambil mengenakan batik. Tentu saja dikawal. Di depannya ada OB van sebuah radio swasta yang akrab sekali dengan komunitas sepeda, juga vooraider yang selalu mengawal rombongan.

Di sekelilingnya, selain ajudan, beberapa PNS dan penggiat batik, ada juga para pentolan komunitas bersepeda. Mulai dari Bike 2 Work Bandung, hingga komunitas Sapedah Baheula yang tampak 'matching' sekali dengan batik. Perjalanan yang dimulai dari rumah dinas wakil gubernur di bilangan Dago itu berakhir di Gedung Sate pukul delapan lewat tiga puluh.

* * *

Saya harap acara batik berbatik itu tidak hanya berakhir di hari ini saja. Kekhawatiran yang didasari beberapa pengalaman bahwa penggunaan batik, jika itu karena trend, apalagi ikut-ikutan, tentu tak akan berlangsung lama. Ingat trend batik setahun lalu yang lantas menurun? atau masa ketika para selebritis ramai-ramai berbatik ria karena takut klaim Malaysia yang menjarah segalanya? Mudah-mudahan itu tak berulang kali ini.

Biar begitu, Batik sebagai batik, bukan sekedar produk fashion yang tergantung pada penggunanya, pasti tak pernah lenyap. Makanya ditetapkan sebagai warisan dunia, karena batik telah menjadi sandaran hidup orang banyak. Batik telah berkembang sedemikian rupa. Boleh jadi sudah mewujud sebagai budaya - jika kita menggunakan definisi 7 unsur budaya dari Koentjaraningrat.

Ah iya, di acara ini, saya bertemu dengan keluarga yang telah menjadikan batik sebagai jalan hidup mereka. Keluarga Hasan dengan Hasan Batiknya. Pertemuan saya dengan Tri Asayani, anak ketiga dari alm Hasanudin; begitu menginspirasi sehingga tulisan ini ada. Hari ini, beberapa memori di masa lalu, seolah berkelebat begitu saja.

Almarhum Hasanudin adalah kawan baik ayah saya, Ahmad Hidayat, sejak lama. Jauh sebelum saya lahir. Sejak mereka masih bujangan dan aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII), sebuah organisasi kader yang telah eksis sejak lama dan banyak mewarnai pergerakan Islam di Indonesia. Oom Din, begitu kami memanggilnya.

Sepanjang saya bisa mengingat, di rumah keluarga Hasanudin di bilangan Muararajeun selalu ada aktifitas membatik. Jaman dulu, ketika saya masih bocah, rumah Muararajeun selalu menyajikan pesona sendiri. Bau malam panas, peralatan canting, cap tembaga dengan berbagai motif geometris, dan hasil karya terpajang di mana-mana. Rumah yang penuh dengan kreatifitas.

Pak Hasan, begitu koleganya memanggil Drs. Hasanudin, adalah seorang dosen di FSRD ITB yang juga praktisi dan seniman batik. Dia mendesain, memproduksi, hingga menjual batik yang kemudian diberi brand Hasan Batik. Motifnya unik, mengeksploitasi berbagai macam ragam hias, mulai dari tradisional, geometris, juga kombinasi keduanya.

Di salahsatu situsnya, disebutkan bahwa salah satu ragam hias yang diciptakan oleh Batik Hasan Bandung adalah batik tambal (patch-work-batik) dengan efek 3 dimensi yang menggunakan proses cap, canting, colet dan celup.

Batik Hasan kini dikelola oleh anak-anaknya Oom din setelah beliau wafat. Anak kedua keluarga itu Sania Sari, kami biasa memanggilnya Mbak Nia, meneruskan kelangsungan bisnis batik ini. Mewarisi usaha batik yang dirintis ayahnya, juga darah saudagar Batik dari kakek mereka yang asal Pekalongan, H. Syakur, mertua Pak Hasan. Sedangkan Mbak Yani, panggilan kami untuk Tri Asayani, selain mewarisi darah seni Oom Din, juga mewarisi kreatifitas yang dia asah di Jurusan Kriya Tekstil FSRD.

Hari itu, Yani ada di sana sebagai salah satu pengurus YJBJ. Batik Hasan adalah salah satu pengrajin yang dirangkul istri wagub Dede Yusuf dalam yayasan yang digagasnya. Bersama Batik Komar dan banyak pengrajin lainnya di Jawa Barat. Tujuannya mulia, selain ingin melestarikan batik-batik di Jawa Barat, juga sekaligus ingin mengangkatnya ke permukaan. Kapasitasnya sebagai istri wagub Jabar memunculkan kepedulian Ny. Sendy melakukan itu.

Sedikit berbincang dengan Yani tadi pagi membuat saya optimis akan keberadaan Hasan Batik yang mulai dikenal sebagai Batik Bandung ini. Cita-cita ayahnya yang ingin Bandung punya ciri khas batik sendiri, tampak mulai terlihat terang. Bandung yang tidak pernah tercantum dalam peta batik nusantara dia harapkan tidak hanya sebagai pengguna, tetapi juga penghasil batik. Seperti halnya batik Trusmi dari Cirebon, batik Priangan serta batik Garutan. Kelak Bandung bakal dikenal juga lewat Batik Bandung-an atau Hasanudin-an di jagat batik nusantara.


* * *

Di Masjid tempat saya biasa Shalat Jumat tadi siang, ada pemandangan yang agak berbeda. Kebanyakan orang berbaju batik. Mirip acara kondangan saja. Hanya sedikit terlihat baju koko, sudah tergantikan oleh batik. Hmm, jangan-jangan orang-orang mengganti koko dengan batik karena takut dicurigai. Maklum, stigma baju koko, celana ngatung atau jenggot agak kencang belakangan ini. Meskipun faktanya, ramainya batik hari itu disebabkan karena banyak instansi yang mewajibkan karyawannya berbatik. seperti yang diimbaukan gubernur Jabar, juga presiden SBY.

Fenomena ramainya batik di hari ini semakin membuat saya yakin bahwa Batik di Indonesia akan tetap ada. Karena batik bukan cuma soal menggoreskan motif di atas bentangan kain. Bukan cuma soal pakaian dress code ke undangan atau acara-acara resmi, atau jadi alat buat ABG yang ingin tampil dewasa.

Batik adalah etos kerja. Sebagaimana yang diungkap Oom Din dalam tesisnya "Etos Dagang Santri Batik Pesisir" ketika dia melanjutkan pendidikan S-2nya tahun 1993. Tesis ini kemudian dibuatnya jadi buku dan sering dijadikan referensi dalam berbagai buku mengenai batik terutama pada buku dari luar Indonesia.

Lalu, seperti halnya etos dagang santri yang tak pernah mati, batik akan terus menempati tempatnya tersendiri yang istimewa. Tempat di mana banyak keluarga macam keluarga Hasan Batik menggantungkan hidupnya dan terus berjuang melestarikan batik. Biarpun kelak, barangkali diklaim negara tetangga, atau anak-anak muda sudah mulai kehilangan selera dan meninggalkannya, batik akan terus ada.

Fakta bahwa Penetapan batik sebagai bentuk budaya bukan benda oleh United Nations Education Sosial and Cultural Organization (UNESCO) hari itu memang membanggakan. Sama halnya dengan saya yang bangga dan terkenang akan dedikasi satu-satunya seniman batik terbaik yang pernah saya kenal, alm. Drs. Hasanudin. Semoga Tuhan selalu memberikan terang padanya.


Bandung, Suniaraja: 02102009

Arif Zaidan
-tribute to Oom Din-