PERSIB, SEPEDA DAN MIMPI MENYAKSIKAN MESSI
Catatan perjalanan bersepeda ke Stadion Si Jalak Harupat, 14 Februari 2009.
Valentine tempo hari itu akhirnya saya rayakan bersama Acip. Iya! Acip yang itu, tukang gigi yang hobi bikin surat. Berdua saja, kami bersepeda dari Cikapayang ke Stadion Si Jalak Harupat, Soreang. Hari itu diwarnai dengan gowes nonton yang nyaris batal dan Persib yang hampir gagal.
Acip bilang, kalau saja saya tidak meneleponnya, mungkin acara gowes stadion yang diharapkan mentradisi itu bakal batal. Pasalnya, beberapa orang mengabarkan pembatalan mereka. Tapi akhirnya jadi juga, biarpun cuma berdua. Alhasil, pukul lima sore dua sepeda Extrada bertandang ke luar kota.
Seharusnya, kami datang lebih awal. Biarpun lewat jalur potong kompas via Margaasih-Nanjung- Soreang, kami terhambat juga oleh rombongan bobotoh bermotor yang terganjal macet beberapa ratus meter menjelang stadion. Lepas lawan Persipura, bobotoh yang haus kemenangan beramai-ramai datang dan berharap Persib meraih tiga angka di laga ini.
Sampai di stadion, Acip mengontak Heru Joko, gegedug Viking. Selain mengabarkan kedatangan, juga konfirmasi soal tiket masuk yang kini memang harus dibeli. Acip pesan tiga, soalnya, beberapa saat sebelum itu, Dwey mengontak dia dan mengabari sedang ada di perjalanan menuju stadion. Syukurlah, hari Valentine itu akhirnya dirayakan bertiga.
Saat tiket sudah di dapat, kami pun masuk dengan cepat. Bertepatan dengan wasit meniup kick-off tanda pertandingan segera dimulai. Lewat tiga puluh menit pertandingan, Dwey menelepon. Sudah sampai di stadion. Acip yang memegang tiket Dwey segera keluar menjemput. Beberapa menit kemudian, Dwey bergabung di VIP barat. Rombongan sepeda lengkap sudah, tapi hanya bertiga saja.
* * *
Ini pertama kali saya menonton Persib bermain langsung di depan mata. Di stadion besar pula, di mana lampu-lampu ber-watt besar menyala di seluruh penjuru stadion. Menyinari lapangan yang mulus luar biasa. Sungguh, saat itu saya tidak merasa berada di Soreang, sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung, yang bahkan jalannya pun hanya cukup untuk lewat dua mobil.
Tapi, euforia berada di stadion itu berakhir ketika kami berlama-lama duduk di sana. Duduk beralaskan tembok menyadarkan saya bahwa ini Indonesia. Stadion di mana kursi-kursi bernomor hanyalah cita-cita, dan impian menyelenggarakan piala dunia hanyalah mimpi di siang bolong semata. Ah, sudahlah.
Malam itu Persib bermain terburu-buru. Tak ada gol tercipta di babak satu. Bikin gemas saja. Beberapa kali saya berdiri saat ada peluang nyaris berbuah gol, berkali itu pula saya kecewa karena skor masih tetap sama. Acip, begitu juga.
Acip yang orang Jambi mengingatkan saya pada Agung Hawe, karib saya. Bukan kebetulan jika mereka berasal dari daerah yang sama. Mungkin juga karena satu sama lain punya kesamaan, sama-sama suka sepakbola. Dia bilang, boleh jadi ini adalah tahun-tahun terakhirnya di Bandung. Mungkin, menonton Persib bermain adalah salah satu kesenangan yang bakal hilang, ketika dia pulang ke kampung halaman.
Di jeda babak pertama, sambil makan bekal, kami beberapa kali ‘sok-sok’ mengomentari pertandingan. Hingga tak terasa, para pemain mulai memasuki lapangan.
Babak kedua, penonton berharap banyak pertandingan bakal lebih menarik. Lebih menarik memang, tapi tetap saja, gol yang dinantikan tak kunjung datang. Padahal Persib tak henti-hentinya menyerang. Entahlah, rasanya ada yang kurang dari permainan ‘sang pangeran biru’ malam itu. Dewi fortuna, mungkin.
Menjelang peluit panjang, penonton mulai anarkis. Sebagian pulang dengan kecewa, sebagian lagi melempar botol-botol minuman. Hemm.. padahal kami menonton di VIP, tapi perilaku ternyata tak ada kaitannya dengan kemampuan finansial. Tetap saja penonton kampungan ada di mana-mana.
Saya, Dweyy dan Acip hanya geleng-geleng kepala, melihat botol-botol plastik diisi air mulai berseliweran ke arah bench PSM. Acip juga kecewa melihat Persib tidak menang, tapi dia juga kecewa melihat penonton kampungan.
“Wah, gowes pulang bakal lebih capek, nih!” ujar Acip. Disambut dengan senyum Dweyy dan seringai saya. Boleh jadi, bakal lain ceritanya jika Persib malam itu menang, niscaya Kami bakal pulang dengan lebih riang.
* * *
Entah efek kekecewaan atau memang sudah ingin pulang, Dweyy menggeber sepedanya dengan beringas. Saya dan Acip terpaksa harus mengimbangi jika tak mau ketinggalan jauh. Di daerah Lanud Sulaeman, Acip belok kiri memisahkan diri. Perjalanan harus dilanjutkan hingga Dago Pojok.
Saya dan Dweyy masih beriringan. Menuju arah Soekarno Hatta, kemudian belok kiri ke timur menuju Buah batu. Di daerah Parakan Asri giliran Dweyy pamit duluan, sementara saya masih harus mengayuh. Malam semakin pekat, tapi masih ada sekira empat kilometer untuk sampai di rumah. Tak sabar rasanya ingin segera sampai, dan disambut ambu tercinta. Apalagi setelah tahu ada makanan menunggu, dan air panas untuk menyegarkan badan menjelang ke peraduan.
Persib memang imbang, tapi malam itu saya tetap merasa senang. Selain sensasi mencicipi stadion megah, juga ada sedikit mimpi yang mulai tersulam. Entah kapan, suatu waktu, saya ingin melihat Lionel Messi bermain di depan mata kepala sendiri. Mungkin di Nou Camp, atau di stadion lain dalam ajang Liga Champions Eropa, siapa yang tahu? Yang ada mungkin doa, semoga Tuhan memeluk mimpi-mimpi itu.
Tabik!
Bandung, 17 Februari 2009