Menariknya menikah adalah kita bisa menjumpai hal-hal baru yang tak pernah dialami sebelumnya. Tak percaya? Hal paling gress yang saya dapat adalah saat menunggui istri melahirkan.
Banyak hal baru yang saya dapat. Pertama, saya tersadarkan akan sesuatu hal, betapa seorang wanita Allah ciptakan dengan bekal kekuatan yang tak terbatas: Kekuatan menahan sakit. Karena untuk bersalin, rasa sakitnya tidak terbayangkan. Karena rasa sakit yang menyertainya, persalinan bisa dibilang merupakan sebuah pertaruhan. Antara hidup dan mati.
Bahasa Ibu saya, Basa Sunda, menyebutnya dengan kata “Ngajuru”. Asal tahu saja, ngajuru ini berasal dari kata “juru”, artinya sudut. Kenapa dibilang begitu, karena kejadian yang diwakili kata ini adalah sudut antara hidup dan mati. Proses persalinan ibarat titik di sudut yang selalu memiliki dua kemungkinan. Apakah akan menuju kehidupan atau kematian. Benar-benar sebuah pertaruhan besar bukan?
Boleh jadi, salah satu alasan mengapa proses persalinan ini sangatlah penting, karena ia menjadi jalan berlangsungnya kehidupan. Menjadi penyambung sinambungnya sebuah kehidupan umat manusia, ketika sudut persalinan menunju pada garis kehidupan.
Lain lagi bila sudut persalinan itu mengarah pada garis kematian. Makanya, dalam agama saya imbalan bagi wanita yang meninggal dunia dalam proses melahirkan sangat-sangat-sangat berharga: Surga. Alasannya, karena sang wanita sudah mengemban sebuah tugas mulia yang Allah berikan.
* * *
Hal kedua, ini berkaitan dengan pertanyaan: Mengapa wanita? Bukan pria yang dipilih untuk menjalani proses persalinan ini? Kalau soal ini, banyak hal yang bisa dijadikan alasannya. Salah satunya yang di awal tadi saya kemukakan: wanita dibekali kemampuan menahan sakit yang luar biasa.
Sebagai seorang pria, saat menunggu istri saya bersalin, saya merasa sangat lemah. Bagaimana tidak, saya hanya menungguinya, melihatnya merasakan sakit luar biasa, tanpa bisa membantunya sama sekali. Bahkan, kalaulah rasa sakit itu bisa dibagi – sebagaimana yang saya pintakan pada-Nya saat itu – saya sangsi, apakah saya bisa menjalaninya sebagaimana istri saya menjalaninya dengan penuh kepasrahan dan kesabaran.
Alasan lainnya, secara biologis, wanita dibekali dengan rahim (uterus). Rahim ini, (lagi-lagi) berasal dari Bahasa Arab. Dalam bahasa aslinya uterus memang dinamai dengan rahim. Dalam pengertian lainnya, “Ar-Rahiim” sendiri adalah salah satu sifat Allah yang berarti Maha Pengasih. Terhormat sekali para wanita yang salah satu organ tubuhnya dinamai dengan sifat Allah yang Maha Pengasih.
Barangkali uterus dinamai seperti itu karena di sanalah tempat kasih sayang yang alamiah. Embrio manusia yang merupakan buah cinta dua manusia, laki-laki dan perempuan, ditempatkan dan dipelihara di sana. Nah, karena wanita yang dibekali dengan rahim, maka ialah yang dipilih untuk menjalani proses persalinan.
Setelah proses persalinan beres, saya tanya istri, “Bu, gimana rasanya?” Ia menjawabkan dengan diplomatis, “Sakitnya tidak terbayangkan, pokoknya rasa sakit ini belum pernah dirasakan sebelumnya,” katanya. “Kapok?” tanya saya selanjutnya. Dengan senyum ia menggelengkan kepala. ”Alhamdulillah, Allah memberikan ambu ‘lupa’, karena saat ini pun rasa sakit itu tidak bisa diingat sama sekali!” jawabnya.
Maha Suci Allah yang Maha Kasih. Perasaan lupa itulah yang membuat manusia tidak bisa membayangkan betapa sakitnya proses persalinan, belum lagi Allah pun menggantikan perasaan sakit itu dengan perasaan lega luar biasa saat menyambut bayi yang terlahir. Perasaan lega yang berlanjut dengan perasaan senang. Allah pun saat itu menumbuhkan cinta-Nya di setiap benak ibu pada anaknya (juga pada Bapaknya :)).
Saua pikir, itu adalah sebuah bentuk transformasi Ar-Rahiim yang Ia berikan. Karena Dia tahu, akan sangat berat membesarkan anak, bila tanpa bekal kasih sayang yang diberikan-Nya. Kasih sayang yang hanya setitik dari sifat-Nya yang Maha Pengasih dan Penyayang.
* * *
Nah, ini hal ketiga yang saya dapat. Saya menyebutnya dengan sebuah penjernihan rasa syukur. Di ruangan bersalin itu, sesuatu ‘menampar’ saya. Sebuah pertanyaan, “Apakah saya sudah cukup bersyukur akan semua hal yang saya terima hingga saat ini?
Ya, sesuatu penting itu tiba-tiba teringatkan di sana, di ruang bersalin. Dalam penantian panjang saya di sana, di tengah kegamangan keadaan, belum lagi ketegangan berharap, saya mendapati diri saya yang ternyata belum cukup bersyukur.
Saat itu, tiba-tiba saja saya menyadari, dua puluh tujuh tahun yang lalu, dalam kondisi yang mirip, orang tua saya pun mengalami hal seperti itu. Papah boleh jadi mengalami ketegangan serupa saat menunggui anak keduanya lahir. Lalu Mamah, hmmm… mungkin tengah didera rasa sakit yang teramat sangat, saat saya tak kunjung juga keluar dari rahim.
“Seeing is believing”, itu kata sebuah anggapan, tapi mengalami sendiri adalah sebuah keniscayaan. Menyelami kondisi seperti itu membuat saya jadi tersadar, betapa orang tua kita telah banyak berkorban untuk kita. Saat itu rasanya seperti memutar sendiri film ketika saya akan dilahirkan. Bedanya, kini saya menunggui sendiri kelahiran anak saya.
Yah, memang sudah semestinya bersyukur bisa tetap hidup hingga saat ini. Seharusnya pula saya berterima kasih pada orang tua, Papah dan Mamah. Betapa perjuangan dan juga pengorbanan mereka baru saya cerapi benar-benar saat itu.
Saat itu, sedikit terselip janji kecil, “saya ingin lebih menghargai orang tua, lebih dari apa yang saya lakukan sekarang.” Saya ingin membahagiakan mereka, menjadi seseorang yang membanggakan bagi mereka, tidak menyusahkan mereka, membuat mereka selalu tersenyum, atau paling tidak, saya tidak jadi beban hidup atau sesuatu yang membuat mereka menyesal telah melahirkan dan mengurusi saya.
Kelihatannya, kata ‘berbakti’ kepada orang tua itu baru saya cerapi lagi. Seraya terucap lirih, “Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaani shaghiraa… Wahai Rabbku, ampunilah dosa-dosaku, juga dosa-dosa kedua orangtuaku, dan rahmatilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku di saat aku kecil…”
“Kadang-kadang kesadaran itu datangnya suka terlambat, tapi untuk urusan bersyukur, rasanya tak pernah ada kata terlambat.”
“Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin”
(QS 2: 2)