from A(rif) to Z(aidan): sebuah cap diri berisikan segala macam yang tak teratur... perjalanan hidup; ziarah dunia; egoisme; etnosentrisme; (mungkin) ide; celetukan; isi hati; orat-oret; usul-usil; supat-sepet; ekspektasi masa depan; kerinduan akan surga di akhirat kelak

Wednesday, March 08, 2006

... pada sebuah lagu...

I want somebody to share
Share the rest of my life
Share my innermost thoughts
Know my intimate details

Someone who'll stand by my side
And give me support
And in return
She'll get my support

She will listen to me
When I want to speak
About the world we live in
And life in general

Though my views may be wrong
They may even be perverted
She'll hear me out
And won't easily be converted

To my way of thinking
In fact she'll often disagree
But at the end of it all
She will understand me



I want somebody who cares
For me passionately
With every thought and
With every breath

Someone who'll help me see things
In a different light
All the things I detest
I will almost like

I don't want to be tied
To anyone's strings
I'm carefully trying to steer clear of
Those things

But when I'm asleep
I want somebody
Who will put their arms around me
And kiss me tenderly

Though things like this
Make me sick
In a case like this
I'll get away with it



Somebody
(Depeche Mode)

-Buat Ambu Zahra, Somebody in my lifetime-

Tuhan Tak Perlu Dibela?

Kutanyakan Padamu, Kau menjawab singkat,
"Tuhan tak perlu dibela, Dia Maha Kuasa."

Kutanyakan Mereka, saat berdemo menentang pemuatan kartun Nabi,
lantas dijawabkan, "Kami berjihad bukan membela Nama Tuhan,
Kami membela keyakinan yang Kami anut."

Kutanyakan padanya yang sedang membaca risalah Nabi,
Lisannya pun bertutur,
"Selemah-lemahnya iman adalah hati yang tak setuju akan kedzaliman."

Kulihat Firman-Nya dalam kitab suci,
kutemukan keterangan,
"Takkan berkurang sekecil apapun kuasa-Ku, jika pun semua manusia tak beriman!"

Kutanyakan diriku sendiri,
"Apa yang sudah kulakukan untuk meneguhkan imanku?"

...

Hanya Engkau yang tahu apa isi hati...
Sungguh! Hanya Engkau, Ya Rabb...

Monday, March 06, 2006

Betah...Pindah...Betah...Pindah (baca: Tok...ke... tokk...kkeee... tokkk....kkkeeee...dst )

Beberapa hari lalu, seorang teman lama bertanya pada saya," How about your worklife? Enak ya di sana?". Pertanyaan yang singkat, tapi butuh jawaban yang sama sekali nggak singkat. Sang teman - dulu sekelas di SMA selama tiga tahun - memang tidak berhasil mendapatkan jawaban dari pertanyaan singkatnya, Yahoo Messenger saya keburu mati. Tapi bukan berarti saya tidak memikirkan jawabannya.

Seingat saya, pertanyaan ini banyak diberikan saat awal-awal lulus dan baru saja bekerja. "Gimana kerjaan, Betah ya? Waaah.. sukses ya..!" Agak terdengar klise, juga basa-basi, dan saya pun menanggapinya dengan nada basa-basi serupa, " Yah, gitu lah... dibetah-betahin...!" jawab saya. Terkadang sambil terselip pula lelucon kalau di tempat kerja ini saya bukan betah, tapi 'butuh'!. hehehehehe...

Cukup lama saya tidak mendapati pertanyaan tentang pekerjaan. Hampir dua tahun saya pikir. Mungkin karena sudah bukan waktunya lagi, atau orang bisa dengan gampang saja menyimpulkan ketika melihat lamanya waktu kita bekerja di sebuah tempat. "Tiga tahun lebih, ya? Wah berarti betah dong?" begitu kata orang-orang baru yang menanyakan sudah berapa lama bekerja di tempat ini.

Tapi, menurut saya, lamanya waktu dan tingkat kenyamanan bekerja bukanlah hal-hal yang berbanding lurus satu sama lain. Di tempat saya bekerja, sebuah pabrik cat yang usianya sudah lebih dari tiga puluh tahun, beberapa karyawan (baca: buruh) senior ada yang masa kerjanya lebih dari dua puluih tahun, dan ia tetap berada di posisinya sebagai buruh. Lantas, apakah itu berarti ia betah? soal itu, faktanya memang seperti candaan saya saat ditanyai pertanyaan serupa. Bukan BETAH... tapi BUTUH.

"Yah, mau gimana lagi? kemampuan cuma segini... kalau mau pindah juga pindah ke mana? Nya atos we Bapa mah kieu wae geuningan," katanya lirih. menyedihkan memang. Ada pertentangan antara keinginan dan kemampuan, lalu ujung-ujungnya, drive yang mengendalikan keputusan tetap pada duit. "Mau dari mana lagi?"

Benar kan?, kebanyakannya bukan mempersoalkan tentang betah atau tidak, tapi butuh atau tidak.

Betah atau tidak memang harus dilihat dari banyak hal. Alasan seseorang betah bekerja di sebuah tempat bisa jadi beragam. Ada yang karena gaji atau salarynya yang sangat memadai. "Bagaimana tidak betah, kalau sebulan sekali rekening kita ditransferkan uang senilai tiga puluh juta rupiah?" cetus seorang rekan karyawan baru yang baru tahu kalau gaji managernya sekira segituan. "Urang oge daek lah mun gaji sakitu mah!" Saya pun menanggapinya dengan tak kalah antusias, "Nya heu euh atuh, saha nu teu daek?" (ya iya dong, siapa yang gak mau?)

Selain gaji, ada juga yang karena alasan lingkungan kerja yang kondusif, teman-teman yang mendukung, boss yang baik dan penyayang hingga alasan remeh macam kesempatan untuk chatting dan mengurusi friendster, atau soal ada kecengan di tempat kerja.

Atau mungkin alasan-alasan pribadi juga bisa dimasukkan di sini. Seorang teman bilang di lingkungan kerjanya, dia bisa Shalat tanpa telat. "Di tempat lain belum tentu saya bisa dapat kesempatan seperti ini!" ujarnya polos.

Ah iya hampir lupa, alasan yang penting itu bernama 'Jenis Pekerjaan' dan tingkat kesesuaian dengan kemampuan atau kesenangan. Mirip dengan roman Si Doel yang tak kunjung dapat kerja karena merasa tidak sesuai dengan kemampuan, alasan ini kerap juga digunakan untuk tidak pindah: "Karena sudah cocok."

Maka, kalau pekerjaan sudah cocok dengan panggilan hati, pekerjaan itu akan dijalani dengan tulus ikhlas. "Itu sih kata orang-orang HRD," begitu kata teman saya yang lain. "Jadi salah kalau lantas untuk membuat orang nyaman, mereka tidak membenahi sistem kepegawaian yang masih urdu, justru malah mengampanyekan kata mutiara 'LOVE YOUR JOB' di mana-mana," teman lain bersungut menanggapinya.

Tapi... alasan-alasan di atas juga bisa digunakan secara terbalik untuk kasus PINDAH KERJA. Alasan-alasan di atas bisa dinegasikan juga. Orang bisa pindah dengan alasan salary, lingkungan kerja, alasan pribadi juga alasan pekerjaannya.

Nah, ini pun mengingatkan saya akan 'janji' pada beberapa karib di Jakarta saat saya bilang sama mereka kalau kelak saya akan ke Jakarta. (Tapi janji itu dibuat tiga tahun lalu saat masih bujangan:))

'Janji' itu memang belum sempat ditepati. Terlalu banyak hal yang menahan saya untuk tidak pindah ke Jakarta. Soal anak istri, ini yang paling utama. Kalau yang lainnya, silahkan berprasangka. Mungkin saya masih betah di Bandung, mungkin saya belum berani menantang ibu kota, mungkin gaji saya tiga puluh juta sebulan (GAK MUNGKIIIINN!!!), mungkin kekhawatiran di tempat kerja baru saya lupa akan kewajiban shalat lima waktu... dan sekian mungkin-mungkin lainnya.

Jadi, kapan saya akan menjawabkan pertanyaan sang teman? hehehehe soal ini saya belum bisa menjawabkannya, at least sampai saat ini. Jadi, selamat berprasangka... toh, samapai ini diketikkan, saya masih belum beranjak dari kursi yang sama saat diduduki tiga tahun lalu :)

Ah iya satu lagi, kadang kala pertimbangan logika tidak selalu menjadi satu-satunya alasan kenapa kita memutuskan ini atau itu...


"gak pentiing bangett!!!" :(

Friday, March 03, 2006

Bersalin Berarti Bersyukur

Menariknya menikah adalah kita bisa menjumpai hal-hal baru yang tak pernah dialami sebelumnya. Tak percaya? Hal paling gress yang saya dapat adalah saat menunggui istri melahirkan.

Banyak hal baru yang saya dapat. Pertama, saya tersadarkan akan sesuatu hal, betapa seorang wanita Allah ciptakan dengan bekal kekuatan yang tak terbatas: Kekuatan menahan sakit. Karena untuk bersalin, rasa sakitnya tidak terbayangkan. Karena rasa sakit yang menyertainya, persalinan bisa dibilang merupakan sebuah pertaruhan. Antara hidup dan mati.

Bahasa Ibu saya, Basa Sunda, menyebutnya dengan kata “Ngajuru”. Asal tahu saja, ngajuru ini berasal dari kata “juru”, artinya sudut. Kenapa dibilang begitu, karena kejadian yang diwakili kata ini adalah sudut antara hidup dan mati. Proses persalinan ibarat titik di sudut yang selalu memiliki dua kemungkinan. Apakah akan menuju kehidupan atau kematian. Benar-benar sebuah pertaruhan besar bukan?

Boleh jadi, salah satu alasan mengapa proses persalinan ini sangatlah penting, karena ia menjadi jalan berlangsungnya kehidupan. Menjadi penyambung sinambungnya sebuah kehidupan umat manusia, ketika sudut persalinan menunju pada garis kehidupan.

Lain lagi bila sudut persalinan itu mengarah pada garis kematian. Makanya, dalam agama saya imbalan bagi wanita yang meninggal dunia dalam proses melahirkan sangat-sangat-sangat berharga: Surga. Alasannya, karena sang wanita sudah mengemban sebuah tugas mulia yang Allah berikan.

* * *

Hal kedua, ini berkaitan dengan pertanyaan: Mengapa wanita? Bukan pria yang dipilih untuk menjalani proses persalinan ini? Kalau soal ini, banyak hal yang bisa dijadikan alasannya. Salah satunya yang di awal tadi saya kemukakan: wanita dibekali kemampuan menahan sakit yang luar biasa.

Sebagai seorang pria, saat menunggu istri saya bersalin, saya merasa sangat lemah. Bagaimana tidak, saya hanya menungguinya, melihatnya merasakan sakit luar biasa, tanpa bisa membantunya sama sekali. Bahkan, kalaulah rasa sakit itu bisa dibagi – sebagaimana yang saya pintakan pada-Nya saat itu – saya sangsi, apakah saya bisa menjalaninya sebagaimana istri saya menjalaninya dengan penuh kepasrahan dan kesabaran.

Alasan lainnya, secara biologis, wanita dibekali dengan rahim (uterus). Rahim ini, (lagi-lagi) berasal dari Bahasa Arab. Dalam bahasa aslinya uterus memang dinamai dengan rahim. Dalam pengertian lainnya, “Ar-Rahiim” sendiri adalah salah satu sifat Allah yang berarti Maha Pengasih. Terhormat sekali para wanita yang salah satu organ tubuhnya dinamai dengan sifat Allah yang Maha Pengasih.

Barangkali uterus dinamai seperti itu karena di sanalah tempat kasih sayang yang alamiah. Embrio manusia yang merupakan buah cinta dua manusia, laki-laki dan perempuan, ditempatkan dan dipelihara di sana. Nah, karena wanita yang dibekali dengan rahim, maka ialah yang dipilih untuk menjalani proses persalinan.

Setelah proses persalinan beres, saya tanya istri, “Bu, gimana rasanya?” Ia menjawabkan dengan diplomatis, “Sakitnya tidak terbayangkan, pokoknya rasa sakit ini belum pernah dirasakan sebelumnya,” katanya. “Kapok?” tanya saya selanjutnya. Dengan senyum ia menggelengkan kepala. ”Alhamdulillah, Allah memberikan ambu ‘lupa’, karena saat ini pun rasa sakit itu tidak bisa diingat sama sekali!” jawabnya.

Maha Suci Allah yang Maha Kasih. Perasaan lupa itulah yang membuat manusia tidak bisa membayangkan betapa sakitnya proses persalinan, belum lagi Allah pun menggantikan perasaan sakit itu dengan perasaan lega luar biasa saat menyambut bayi yang terlahir. Perasaan lega yang berlanjut dengan perasaan senang. Allah pun saat itu menumbuhkan cinta-Nya di setiap benak ibu pada anaknya (juga pada Bapaknya :)).

Saua pikir, itu adalah sebuah bentuk transformasi Ar-Rahiim yang Ia berikan. Karena Dia tahu, akan sangat berat membesarkan anak, bila tanpa bekal kasih sayang yang diberikan-Nya. Kasih sayang yang hanya setitik dari sifat-Nya yang Maha Pengasih dan Penyayang.


* * *

Nah, ini hal ketiga yang saya dapat. Saya menyebutnya dengan sebuah penjernihan rasa syukur. Di ruangan bersalin itu, sesuatu ‘menampar’ saya. Sebuah pertanyaan, “Apakah saya sudah cukup bersyukur akan semua hal yang saya terima hingga saat ini?

Ya, sesuatu penting itu tiba-tiba teringatkan di sana, di ruang bersalin. Dalam penantian panjang saya di sana, di tengah kegamangan keadaan, belum lagi ketegangan berharap, saya mendapati diri saya yang ternyata belum cukup bersyukur.

Saat itu, tiba-tiba saja saya menyadari, dua puluh tujuh tahun yang lalu, dalam kondisi yang mirip, orang tua saya pun mengalami hal seperti itu. Papah boleh jadi mengalami ketegangan serupa saat menunggui anak keduanya lahir. Lalu Mamah, hmmm… mungkin tengah didera rasa sakit yang teramat sangat, saat saya tak kunjung juga keluar dari rahim.

“Seeing is believing”, itu kata sebuah anggapan, tapi mengalami sendiri adalah sebuah keniscayaan. Menyelami kondisi seperti itu membuat saya jadi tersadar, betapa orang tua kita telah banyak berkorban untuk kita. Saat itu rasanya seperti memutar sendiri film ketika saya akan dilahirkan. Bedanya, kini saya menunggui sendiri kelahiran anak saya.

Yah, memang sudah semestinya bersyukur bisa tetap hidup hingga saat ini. Seharusnya pula saya berterima kasih pada orang tua, Papah dan Mamah. Betapa perjuangan dan juga pengorbanan mereka baru saya cerapi benar-benar saat itu.

Saat itu, sedikit terselip janji kecil, “saya ingin lebih menghargai orang tua, lebih dari apa yang saya lakukan sekarang.” Saya ingin membahagiakan mereka, menjadi seseorang yang membanggakan bagi mereka, tidak menyusahkan mereka, membuat mereka selalu tersenyum, atau paling tidak, saya tidak jadi beban hidup atau sesuatu yang membuat mereka menyesal telah melahirkan dan mengurusi saya.

Kelihatannya, kata ‘berbakti’ kepada orang tua itu baru saya cerapi lagi. Seraya terucap lirih, “Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaani shaghiraa… Wahai Rabbku, ampunilah dosa-dosaku, juga dosa-dosa kedua orangtuaku, dan rahmatilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku di saat aku kecil…”

“Kadang-kadang kesadaran itu datangnya suka terlambat, tapi untuk urusan bersyukur, rasanya tak pernah ada kata terlambat.”

“Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin”
(QS 2: 2)