from A(rif) to Z(aidan): sebuah cap diri berisikan segala macam yang tak teratur... perjalanan hidup; ziarah dunia; egoisme; etnosentrisme; (mungkin) ide; celetukan; isi hati; orat-oret; usul-usil; supat-sepet; ekspektasi masa depan; kerinduan akan surga di akhirat kelak

Wednesday, February 22, 2006

ZAHRA 'ILMA ZAIDAN (3)

(Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan)

Esoknya, Sabtu tanggal 4 Februari, sebuah pengajian diadakan di rumah orantua saya di jalan Srigunting Raya. Mengundang tetangga dan kerabat dekat, semakin banyaklah harapan dan do’a yang tercurah untuk Zahra. Sang Ustadzah yang kami undang adalah kerabat dekat kami juga, Hj. Rd. Rokayah Syarief (saat ini beliau dipercaya menjadi ketua umum PP Persistri).

Menariknya, dalam pengajian yang didominasi oleh kaum perempuan itu, beliau pun membahaskan makna nama anak kami. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, tentu pemaknaannya menjadi semakin lengkap.

Katanya, Zahra itu berarti bunga, namun bukan sembarang bunga. Zahra adalah bunga yang sangat istimewa. Tak heran Rasulullah SAW memberikan sebutan pada putri tercintanya dengan Az-Zahra. ‘Ilma itu artinya bukan ilmu, begitu katanya. ’Ilma lebih cenderung pada pengertian. Pengertian inilah yang kelak akan melahirkan hikmah. Sedangkan Zaidan berarti bonus kebaikan. Jadi, kata Amih – begitu biasanya kita memanggil beliau – makna nama “ZAHRA ‘ILMA ZAIDAN” adalah “Kembang soca keur nu jadi Indung Bapana nu pinuh ku rupi-rupi pengertian, tur meunang loba bonus kahadean.”

Redaksi aslinya memang dalam bahasa Sunda. Kira-kira kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia, pengertiannya begini: “Bunga yang penuh dengan berbagai pengertian dan pengetahuan serta mendapatkan banyak bonus kebaikan.” Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin.” Mudah-mudahan Allah merestui harapan yang disematkan lewat nama ini.

Kini, saya menjadi seorang Abah bagi anak saya. Katanya, sebagai seorang laki-laki saya sudah memiliki segalanya. Padahal, sebagai Abah, saya masih ditunggu oleh kewajiban menjaga amanat Allah ini ke depannya.

Tugas pertama memang selesai, namun itu berarti tugas lainnya dimulai. Kisah perjalanan anak ini, sedikit banyak adalah tanggung jawab saya. Ialah yang menuntut saya di akhirat kelak ketika saya gagal memberikan didikan padanya, ketika saya gagal memperkenalkan Tuhan padanya. Ia pula yang akan membantu saya, memberikan tabungan pahala tak terputus ketika ia menjadi anak yang shalehah, berbakti kepada Tuhan dan menjadi jalan kebaikan.

Berat memang tanggung jawab yang saya emban itu, namun ‘kontrak’ itu sudah saya ambil. Saya tidak bisa mundur lagi, yang bisa saya lakukan hanyalah berdo’a dan berusaha (arte et labore). Belajar dan terus belajar membesarkannya seraya berharap Ridla Allah senantiasa menyertai kami. Amiin.

Well, akhirnya, Selamat datang ke dunia ini ZAHRA ‘ILMA ZAIDAN. Kami semua mengharapkanmu tumbuh besar, berkembang dan memberikan kebaikan bagi semua. Seperti tersemat dalam namamu, semoga engkau menjadi bunga, yang harum karena engkau penuh dengan pengetahuan dan pengertian serta mendapatkan dan memberikan banyak manfaat dan kebaikan.

Welcome to the world our precious daughter, May Allah be with You, always.


-Peluk cium dan do’a teriring
dari Abah dan Ambu
yang selalu menyayangimu-

ZAHRA 'ILMA ZAIDAN (2)

(Bagian Kedua dari Tiga Tulisan)

Hari Rabu, tanggal 1 Februari, kami meninggalkan Rumah Sakit yang menyimpan banyak kisah tak terlupakan. “I’m coming, with my baby. We’re come home, honey.”

Dua hari kemudian, kewajiban pertama saya atas bayi yang baru lahir ini terlaksana. Sebuah keterangan yang Shahih menyebutkan kalau setiap bayi yang terlahir itu tergadai, hingga ditebuskan untuknya pada hari ketujuh sembelihan domba atau kambing. Seekor untuk bayi perempuan dan dua ekor untuk bayi laki-laki. Sembelihan itu kemudian dibagikan pada yang membutuhkan.

Setelah itu, rambutnya dicukur habis dan kemudian ditimbangkan berat rambutnya untuk dikonversi senilai gram emas. Jumlah itulah yang harus dibayarkan sebagai sedekah pada yang berhak. Rangkaian terakhir penebusan itu adalah pemberian nama yang bagus.

Soal nama ini, beberapa waktu sebelum persalinan, kami sempat membincangkannya. Berawal dari kekaguman kami pada Putri Nabi, Fathimah Az-Zahra R.A. (Semoga Ridha Allah tercurah atasnya), maka kami pun berniat mengambil gelar indah itu untuk putri pertama kami.

Pikiran serupa, ternyata datang dari mertua saya, Ia memesankan Zahra atau Fathimah sebagai nama awal bagi cucu pertamanya. Klop! Belum lagi ada cerita menarik tentang nenek kami yang saat ditanya oleh seseorang tentang siapa nama buyut pertamanya, dengan spontan ia menjawab “ZAHRA”. Padahal saat sang bayi belum pula kami berikan nama dan saat itu tidak ada satu orangpun yang memberi tahu nenek tentang bakal nama bayi ini. Hmm… Is it a sign? Saya tidak tahu.

Beberapa hari di Rumah Sakit tempo hari memberikan kami banyak waktu luang – di luar mengganti popok bayi dan menungguinya fototerapi – untuk semakin mematangkan nama yang hendak disematkan pada anak ini. “Zahra ‘Ilman Zaidan” kemudian menjadi pilihan. Belakangan, nama tengahnya diganti dengan ‘Ilma. Rupanya penggunaan huruf ‘N’ menjadikannya berkesan maskulin, setidaknya itu yang dirasakan beberapa orang termasuk ayah saya. Alhasil, nama ‘Ilma sebagai pengganti pun di acc.

Kalau soal nama belakang, rasanya tidak ada persoalan. Penggunaan nama belakang Zaidan sudah merupakan keinginan Ambunya dari pertama. Bukan karena kami ingin membentuk sebuah klan bernama Zaidan, kata Viky, nama Zaidan sudah cukup bagus terdengarnya, selain karena maknanya yang mendalam pula.

Berbicara soal makna, setahu kami, Zahra itu berarti bunga atau sesuatu yang memberikan keharuman. Sedangkan “Ilma berarti Pengetahuan atau ilmu. Lantas Zaidan artinya bertambah-tambah. Maka, jadilah anak kami ini kami beri nama “ZAHRA ‘ILMA ZAIDAN”, dengan harapan tercurah, kelak anak ini bakal seharum bunga karena ilmu dan pengetahuannya yang terus bertambah.

Di Aqiqah hari Jumat itulah akhirnya nama “ZAHRA ‘ILMA ZAIDAN” ditahbiskan, sekaligus menutup rangkaian penebusan kami pada buah cinta kami yang tergadai. Tugas pertama saya sebagai ayah selesai hari itu. Membayar tebusan, mencukuri, dan memberi nama yang indah. Semoga semua upaya ini Allah nilai sebagai wujud dari rasa Syukur atas nikmat-Nya yang berlimpah.

ZAHRA 'ILMA ZAIDAN

(Bagian Pertama dari Tiga Tulisan)

Anugerah terindah itu bertambah. Karunia-Nya yang tak henti tercurah kembali meliputi saya. Sabtu itu, 28 Januari 2006 bertepatan dengan 28 Dzulhijjah tahun Hijriyah, buah cinta kami, Arif Rifqi Zaidan dan Viky Edya Martina, terlahir ke dunia.

Waktu menunjukkan pukul 04:55 menit, selepas adzan Shubuh berkumandang, terdengarlah suara tangis yang memenuhi ruangan bersalin Emergency Room di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Tangis pertama seorang bayi yang baru saja menghirup dunia. Paru-parunya yang selama dalam kandungan belum aktif, mendadak bereaksi terhadap tekanan udara yang berbeda dari yang dirasakannya dulu.

Tangis itu… begitu membahagiakan, sampai-sampai saya nyaris tak tersadar kalau tangis itu bukanlah satu-satunya diruangan itu. Ada tangis bahagia dari orang-orang yang menantikan buah cinta itu datang. Tangis Abah dan Ambunya yang selama itu tak henti berharap dan berdo’a kelahiran sang bayi selamat tak kurang suatu apapun. Ada pula tangis bahagia dan kelegaan luar biasa setelah proses persalinan itu berlangsung lancar.

Alhamdulillah, Allah Maha Pengasih. Ia mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya yang berharap. Tahu benar apa yang kami pintakan pada-Nya, Ia memberikan amanat bagi kami seorang bayi perempuan mungil nan cantik. Beratnya 2915 gram dengan tinggi 49 cm. Sehat dan lengkap seluruh anggota tubuhnya. Nikmat ini, patut disyukuri. Sekali lagi Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamiin, terucap dalam sujud syukur saya di ruangan itu, berterima kasih atas Kasih-Nya pagi itu.

Maha Suci Allah yang Maha Kasih. Rasanya, Syukur saya pun takkan cukup untuk membalas Nikmat-Nya ini. Tidak cukup pula dengan do’a yang saya panjatkan saat pertama kali melihat sang buah cinta.

“Inni u’iidzuka bikalimatillaahi taammati min kulli syaithaani wa haammati wa min kuli ‘ainin laammati… (HR Bukhari dan Muslim), Abdi nyalindungkeun ieu budak ku Kalimah Gusti nu Maha Agung tina gangguan Syetan jeung sarupaning sasatoan, jeung tina sora-sora nu mawa goreng ka budak ieu.” (Saya memperlindungkan anak ini dengan Asma Allah yang Maha Agung dari kejahatan Syetan dan hewan-hewan dan dari suara-suara yang membawa keburukan bagi anak ini).

Setelah proses persalinan selesai, kami pun pindah ruangan. Istri saya masih butuh istirahat dan anak kami pun memerlukan beberapa perawatan lagi. Banyak ucapan selamat terungkap. Banyak do’a dan harapan terucap. Banyak orang mencintai kami. Mengirimi SMS, mengucapkan selamat, menjabat tangan kami, bahkan memberikan tanda kasihnya. Sungguh, anugerah Tuhan tak henti-hentinya datang menerpa. “Fabiayyi aallaa I Rabbikumaa tukadzibaan, Maka nikmat-Nya yang manakah yang kan kau dustakan?” (berkali-kali dalam Surah Arrahmaan (QS: 55))

Saya semakin tersadar. Dengan kelahiran yang normal, selamat dan sehat pun sudah merupakan sesuatu yang berharga bagi kami. Terlebih, ditambah dengan nikmat-Nya yang Ia datangkan lewat hati dan tangan kerabat, sanak saudara, sahabat dan teman-teman yang mencintai kami. Terima kasih semuanya. Jazakumullaahu khairan katsiiraa. Semoga kebaikan yang datang itu dibalas-Nya dengan berlipat ganda kebaikan.

Terkhusus, kepada orang tua kami, Mamah Evi, Papah Yayat, Mamah Abeng, Bi Ati dan segenap keluarga besar yang dengan setia mendukung, menunggui, mencukupi kebutuhan kami. Juga pada dokter yang membantu persalinan kami, dr. Supriyadi Gandamihardja, SPOG (k). Kebaikan beliaulah yang menjadi jalan keselamatan bagi bayi kami, sejak bulan pertama dalam kandungan. “Hatur Nuhun, Wa’! Mugia kasaean Uwa’ kenging ganjaran ti Nu Maha Kawasa.”