from A(rif) to Z(aidan): sebuah cap diri berisikan segala macam yang tak teratur... perjalanan hidup; ziarah dunia; egoisme; etnosentrisme; (mungkin) ide; celetukan; isi hati; orat-oret; usul-usil; supat-sepet; ekspektasi masa depan; kerinduan akan surga di akhirat kelak

Friday, December 30, 2005

Kehadiran Tuhan dan Kebahasaan

"Senang sekali rasanya ketika blog saya disentuh orang!"

Entah apakah ini sebuah euphoria sebagai debutan di dunia blog atau memang karena manusia selalu saja butuh pengakuan, tapi kalimat pembuka yang saya tuliskan itu benarlah adanya. Rasanya ada sesuatu menggelitik yang menyenangkan saat membacai komentar teman-teman usai membacai blog ini.

Sumpah! Perasaan ini sudah lama sekali tidak saya rasakan. Di tengah kesibukan berumah tangga dan dunia kerja yang sama sekali berbeda, perasaan menyenangkan ini menghampiri saya lagi. Hanya komentar? Boleh jadi! Tapi, kendatipun ge er, biarlah saya mempersepsinya sebagai sebuah penyambutan akan keberadaan blog ini, dan tentunya keberadaan saya di mata teman-teman yang lebih dulu hadir.

Omong-omong soal kata 'hadir', saya punya cerita. Di masa Sekolah Dasar dulu, saya sempat menyambi sekolah agama di sore harinya. Namanya Madrasah Diniyah (Bedanya, dulu kami tidak dimintai sidik jari saat menuntut ilmu di sana). Nah, di saat belajar alif ba ta itulah kami rutin dicek kehadirannya oleh sang mudir (guru) yang menyebut nama kami satu per satu. Kalau nama disebut, maka kami akan mengatakan HADIR!! dengan cukup lantang.

Artinya lagi, kalau ternyata sang guru tak mendengar kata itu saat menyebut sebuah nama, maka dipastikan kalau orang itu tidak hadir. Nah, seingat saya, urusan hadir tidak hadir pun mengenal pembedaan. Kalau mau disebut ini urusan gender, bolehlah. Tapi, sungguh! dulu saya sama sekali tak kenal kata 'gender'. Hal yang saya tahu saat itu, kalau nama murid wanita yang disebut, maka ia akan menjawab: Hadirah (baca: Hadiroh).

Usut punya usut, kata hadirah ini dalam kaidah bahasa Arab, merupakan bentuk kata perempuan dari hadir. Bahasa Arab, setahu saya memang mengenal pembedaan antara bahasa yang digunakan untuk laki-laki dan yang digunakan untuk perempuan. Kalau laki-laki, kelompok katanya disebut dengan muzakkar (mirip dengan penyebutan alat kelamin pria, kan?) sedangkan untuk perempuan disebut muanats.

Aslinya, hadirah ini ditulis sebagai 'hadirat', ujung huruf 'h' adalah penyebutan dari 't' yang disebut sebagai 'ta marbuthah', artinya, dibaca sebagai 'h' saja. Memusingkan bukan?

Kata seorang teman lulusan pesantren, bahasa Arab ini memiliki tingkat kemiripan (juga kesulitan) tinggi dengan bahasa Prancis. Setahu saya, belajar kedua bahasa itu memang cukup memusingkan. Mungkin karena itu juga hingga sekarang, saya tak pernah berhasil untuk melanjutkan niat saya mempelajari bahasa Arab.

Kata 'Hadirat' ini ternyata diserap dalam bahasa Indonesia. Dalam KBBI bajakan yang saya beli di Palasari, Hadirat dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Semua yang hadir (dengan catatan tambahan untuk perempuan). Untuk laki-laki, arti yang sama diwakili dalam kata Hadirin.

Nah, yang menarik bagi saya, orang Indonesia selalu saja memadankan kata Hadirat ini dengan kata Tuhan. Hadirat adalah kata yang mewakili keberadaan Tuhan. Misalkan saja dalam do'a bersama di saat upacara bendera, protokol bilang, "Marilah kita bersama-sama memanjatkan Do’a ke Hadirat Tuhan."

Lantas, entah bagaimana caranya, kata Hadirat itu terus-terusan menyertai kata Tuhan. Ada dua hal menarik saya pikir. Pertama, kalau memang itu benar penyematannya – dalam artian bukan sebuah bias – maka kata yang bernuansakan perempuan ini benar-benar sungguh terhormat. Para feminis, kalau tahu akan hal ini akan berpikir kalau pemadanan itu merupakan sebuah penghormatan yang sungguh sempurna bagi kaum perempuan yang mereka bela.

Bagaimana tidak, dengan pemadanan itu, akan muncul persepsi kalau Tuhan begitu feminin, bukan maskulin. Sekedar bandingan saja, dalam bahasa Inggris, biasanya kata ganti untuk Tuhan biasanya dalam bentuk kata ganti orang ketiga tunggal pria. Contoh sederhananya adalah kalimat ini, "We’re just do our part, and let God do his part!"

Kalimat berbahasa Inggris di atas sering sekali dilontarkan Amien Rais (mantan ketum PP Muhamadiyah) saat menggambarkan tentang keberadaan usaha manusia dan kaitannya dengan tawakal.

Namun demikian, poin yang kita bahas bukan hal itu, tapi tentang penggunaan kata “His” sebagai pengganti God di anak kalimat di atas. Bukankah Tuhan dalam hal ini terlihat begitu maskulin?

Nah, soal kedua (tadi yang pertamanya yang mana ya?) adalah berkaitan dengan soal tunggal dan jamak. Boleh jadi, ini akan meng-counter dugaan saya di awal. Kalau Hadirat itu adalah bentuk jamak dari hadir, maka keberadaan Tuhan di sini tidak lagi tunggal jika dipadankan dengan kata hadirat. Ketika kita bilang, "Mari berdo’a ke hadirat Tuhan," maka berdo'a di sana ditujukan pada semua 'Tuhan' yang ada.

Justru di sini permasalahannya. Dugaan saya, kelihatannya yang salah adalah penggunaannya dalam bahasa Indonesia. Bicara soal konteks kebahasaan, masyarakat Arab pasca Muhammad SAW adalah masyarakat Monoteisme. Tugas kenabian Muhammad adalah memurnikan ajaran Monoteisme satu Tuhan sebagaimana yang dirintis oleh pendahulunya, misalkan saja Ibrahim, Musa, juga Isa. Karena itu, agak kurang pas rasanya di sebuah masyarakat penganut monoteisme satu Tuhan, penggunaan kata Hadirat ini dipadankan dengan Tuhan.

Dugaan lain, boleh jadi masalah sebenarnya ada pada penggunaannya dalam bahasa Indonesia. Kalau di Indonesia yang plural, mungkin saja penggunaan kata Hadirat untuk Tuhan jadi bisa diterima. Untuk menghormati semua agama yang diakui pemerintah, maka kata hadirat boleh jadi dianggap mewakili semua penyebutan Tuhan yang berbeda-beda. Jadi, kalau lantas ngomongnya Hadirat, semua "Tuhan" bisa terwakili di sana.

Dugaan lainnya lagi, ini adalah sebuah bentuk salah kaprah. "Another 'salah kaprah' in Indonesian Literature", sebagaimana banyak kata serapan lain juga yang disalahkaprahkan. Saya sih berharap mudah-mudahan dugaan inilah yang paling mendekati kebenaran.

Tapi, sekali lagi, semua itu cuma dugaan. Sesuatu yang baru saja pop up ketika saya mau nulis blog dan menyatakan kegembiraan saya akan komentar yang mampir di blog ini. Ketika mengetik kata 'hadir' di awal-awal tulisan, tiba-tiba usul usil seperti ini langsung mengalir. Alhasil, bagi saya yang sekarang lagi hobi-hobinya posting di blog, ini jadi sesuatu berharga yang buat menuh-menuhin blog ini.

Sekian saja. Wallahu ‘alam bisshawabb.

"Kebenaran hanyalah Milik-Nya, dan janganlah kamu sekalian menjadi orang-orang yang meragu..."

Tuesday, December 27, 2005

Kau dan Aku

Kaulah candu
tak henti meracuniku

Membiusku
Melewati batas sadarku

Menyadarkanku
betapa aku menginginkanmu

Kaulah candu
tak bisa kuhenti

---

Aku Mencintamu
Seperti Majnun
Menggila Layla

Aku Mendambamu
seperti Ibrahim
Mendamba Tuhan

290204
Untukmu saja: Viky Edya

Monday, December 26, 2005

Minggu Sore, Dramatisasi dan Kesadaran

Hmm... Sore yang cerah. Selepas hujan, entah kenapa semuanya terasa begitu terang. Apakah Kartini mengalami pengalaman macam ini juga ketika menulis karyanya yang terkenal, "Habis Gelap Terbitlah Terang"? Kalau soal itu, saya tidak yakin. Satu hal yang saya yakini saat ini adalah sebuah kenyataan kalau Minggu ini adalah Minggu terakhir di tahun 2005, pekan depan, tahun sudah berganti menjadi 2006.

Hujan tadi memang tidak saya rasakan langsung. Kabarnya, deras sekali air yang tercurah dari langit. Cuma melihat sisa-sisa genangan air yang banyak tergenang di sekitaran jalan Soekarno Hatta pun sudah membuat saya tahu kalau hujan kali ini deras sekali.

Hujan, juga terang setelahnya, kadangkala suka dijadikan sebagai sebuah pertanda (saya sih lebih menyukai untuk menyebutnya sebagai penanda). Dalam komik Slamdunk karya Takehiko Inouei, saat pertandingan Shohoku lawan Sannoh berjalan, hujan mulai turun. Ketka itulah Sannoh mulai menguasai pertandingan, menjadikan Shohoku bulan-bulanan mereka.

Semakin deras hujan, semakin kepayahanlah Shohoku. Hingga akhirnya mereka bangkit (karena upaya sang tokoh utama: Hanamichi Sakuragi, tentunya), di komik itu digambarkan badai mulai mereda, hujan pun sudah berhenti dan matahari pun kembali bersinar dengan terang. Persis seperti yang saya alami saat ini.

Kebangkitan Shohoku dan hujan yang reda adalah sebuah relasi yang diciptakan oleh pengarang. Setidaknya itulah persepsinya yang terkadang merupakan perulangan dari pola yang sama di cerita lain.

Shohoku mengalami kemenangan pada akhirnya, tentu bukan karena hujannya sudah berhenti. Toh, hujan ataupun panas, pertandingan itu dilangsungkan di gedung olahraga tertutup, tidak ada pengaruhnya sama sekali, kecuali bunyi-bunyian di atap. Tapi, sebagaimana yang diinginkan pengarang, unsur dramatis yang bisa mengusik sisi emosional pembaca akhirnya terbangun. Dramatisasi macam ini kelihatannya mutlak adanya dalam sebuah cerita.

Dramatisasi serupa bisa dilihat di komik Shin Tekken Chinmi yang di Indonesia diterbitkan dengan judul New Kungfu Boy. Ketika Chinmi ikut sebuah pemberontakan pada seorang penguasa lalim di daerah Ka Nan, entah mengapa pertarungan Chinmi dengan Jenderal Boru, sang jagoan musuh usai pada saat fajar menyingsing. Pemberontakan itu bisa mereka menangkan dan kemenangan pun menjadi milik rakyat seiring dengan munculnya matahari di ufuk timur.

Lalu, seperti halnya tokoh-tokoh fiksi macam Chinmi dan Sakuragi atau tokoh-tokoh nyata seperti Kartini, saya pun sama mengalami peralihan dari hujan deras ke terangnya suasana seusainya. Bedanya, saya tak merasakan dramatisasi yang sama kecuali menyadari bahwa tahun 2005 segera usai.

Banyak hal luar biasa saya alami di 2005 ini. Melepaskan status lajang, menjadi seorang bakal ayah, punya mertua, pergi ziarah umrah ke tanah suci dan serentetan kejadian lainnya yang terjadi di tahun ini. Kini, tahun luar biasa itu hampir berakhir, nyarisberganti di tahun 2006 yang sebenarnya tidak melakukan apapun untuk saya.

Pergantian tahun, sesungguhnya sama saja dengan pergantian bulan, minggu, hari, menit bahkan detik. Hidup kita terus maju, sementara kita meninggalkan sesuatu yang disebut masa lalu. Semuanya memang terasa cepat seperti sebuah kelebatan. Tahu-tahu, saya sudah menikah, tahu-tahu saya sudah berusia 27 tahun di tengah tahun depan, dan sekian banyak tahu-tahu lainnya.

Tahu-tahu, saya pun sudah menuliskan begitu banyak di saat ini, saat menunggui sang istri bertugas sore ini. Sedikit membagi kesadaran pada Anda, sungguh saya tak bermaksud menggurui. Ya, hanya sedikit berbagi, kalau menjelang penghujung tahun ini saya menyadari kalau hidup begitu indah, ketika kita mensyukurinya sangat. Untuk satu hal ini, rasanya saya perlu lebih banyak belajar lagi: Bersyukur pada Sang Maha. Boleh jadi, inilah resolusi yang saya bikin di akhir tahun ini.

Terima Kasih pada Sang Hidup, yang memberikan saya jatah hidup hingga saat ini.

Bandung, 25 Desember 2005: 15.40, Minggu Sore di Penghujung 2005.

Thursday, December 22, 2005

SEBUAH FABEL TENTANG CINTA

Akankah kau jinakkan aku?
Setelah kau jinakkan akankah kau meninggalkanku
dan membuatku menangis?
(VQ, 050304)

Aku ingin kita saling Menjinakkan
Karena kita inginkan itu
Aku takkan kehilanganmu
Dan kau takkan menangis karenanya.
Aku takkan tinggalkanmu karena aku jinak padamu
Akankah kau jinakkanku juga?
(Saidan, 050304)

Aku masih mencari sumur yang airnya berguna tuk hatiku.
Aku ingin bisa melihat dengan hatiku
sesuatu indah yg tidak tampak pada dirimu.
Saat masanya tiba kau kan kujinakan.
(VQ, 050304)

Maka Izinkanlah diriku
Untuk tampakkan apapun yang kau cari
Lalu kau akan temukan sesuatu disana
Reguklah sesukamu.
Hatiku akan menantikan masa itu
Saat kau jinakkanku

(Saidan, 050304)
Thanks to Antoine du Saint Exupery and his 'le petit prince'…

Wednesday, December 21, 2005

capcay dan tjapdjai

Capcay, begitu kita menyebutnya. Sungguh mudah menemukannya. Di jalan-jalan utama, saat malam menjelang, banyak warung makan yang beratapkan tenda menjual makanan ini. Kata seorang teman yang mengerti bahasa mandarin, capcay berasal dari bahasa Tiongkok (baca: cung kwo), cap (sepuluh) dan cay (sayuran) yang berarti 10 jenis sayur. Kesepuluh jenis sayuran tadi diolah dan jadilah masakan bernama capcay.

Kini capcay bukan lagi dominasi warga keturunan Tionghoa, sang empunya makanan ini. Buktinya, penjual makanan ini sudah sangat beragam, dari mulai orang sunda, jawa, betawi dan lainnya. Apalagi yang makannya, tak terbatasi lagi oleh etnis, jenis usia, gender, apalagi agama (kecuali bila cap caynya mengandung daging atau minyak babi).

Itu cerita tentang capcay. Lain lagi dengan cerita tjapdjai, meskipun sama-sama terdiri dari dua suku kata, pemaknaannya sungguh berbeda. Tjap di suku kata pertama adalah tranliterasi dari ejaan baru "cap" ke ejaan lama. Sedangkan "djai" merupakan penulisan dari "Jai".

Dalam bahasa inggris, "cap" bisa berarti penutup atau sumbat, sedangkan Cap dalam bahasa indonesia merujuk pada sebuah penanda yang digunakan untuk melegalisasi sesuatu. Biasanya terbuat dari karet yang ditoreh hingga berbentuk sesuatu, atau tertuliskan sesuatu. Temannya adalah bak tinta tempat sang "cap" mengambil bahan penanda.

Penggunaannya pun kini meluas. Semua instansi pemerintah mulai dari lembaga kepresidenan, MPR, pemerintahan kota, hingga RT semuanya menggunakan cap. Belum lagi perusahaan dan LSM yang merasa perlu akan keberadaan ini.

Tak pelak, keberadaan "cap" sebagai penanda, atau representant menjadi amat penting. Cap akan merujuk pada sang pemilik cap itu, baik lembaga atau pun perorangan. Karena merupakan representant, cap akan menjadi representasi dari realitas yang mewakili sang empunya. Bukan tak mungkin ia menjadi identitas dari sang pemilik. Orang akan melihat siapa seseorang atau apa sesuatu dari "cap" yang ada.

Disadari ataupun tidak, di dunia penuh dengan labeling ini, cap menjadi sesuatu yang harus dimiliki atau secara otomatis inheren pada seseorang. Bagaimana ia muncul? perilaku, sikap, kata-kata atau tindakan bisa memunculkan cap.

Saat seorang pejabat mengambil uang rakyat dan ketahuan KPK, maka cap yang muncul padanya adalah cap "koruptor". Ketika seorang wanita berhubungan seks dengan banyak laki-laki tanpa menikah, sebagian masyarakat membubuhi cap "wanita nakal", bahkan cap "pelacur" didapatnya dengan gratis, meskipun di tempat lain, para penganut kebebasan memberinya cap sebagai "liberalis sejati".

Orang pun bisa dengan mudah memberi atau menerima cap pada dan dari manusia lainnya. Sifat "cap" ini pun akhirnya mengikuti kaidah "phanta rei" nya Heraclitus: tidak ada cap yang tetap. Cap bisa berubah sewaktu-waktu, seperti hidup, kadang orang menerima cap baik juga cap buruk.

Dalam kitab suci pun cap ini sempat disinggung pula. Ketika Tuhan melarang manusia memberikan gelaran yang buruk pada manusia lainnya, karena yang memberi cap boleh jadi tidak lebih baik dari yang menerima cap, Orang yang menggunjing belum tentu lebih baik dari yang digunjing.

Hingga pada akhirnya di akhirat, Tuhan pun memberikan cap pada manusia yang menentukan apakah ia masuk surga atau neraka. Cap yang muncul dari apa yang diperbuat selama di dunia inilah yang akan diterima masing-masing manusia. Cap yang berasal dari catatan sejauh mana ia menaati perintah Tuhan dan menjauhi larangannya, cap yang berisikan berapa banyak pelanggaran yang dibuat manusia pada Tuhan dan pada manusia lainnya.

Ah, memikirkan itu malah membuat saya jadi merenung, apakah cap yang akan saya tinggalkan ketika saya mati dan apakah cap yang bakal saya dapat ketika saya berada di kehidupan kedua setelah kematiannya.

kendati demikian, izinkanlah saya, menamai blog ini sebagai serpihan kecil "tjap" yang ingin saya - seorang "djai" - bagi kepada anda, rekan sekalian. Semoga memaklumi adanya.

Cap ini pulalah yang bakal menstimulasi cap yang bakal anda berikan pada saya, sebagaimana saya pun memberikan cap pada anda (mungkin sejak masih dalam pikiran pun). Sedikit berharap bahwa cap-cap yang bakal kita saling beri akan membuat hidup lebih baik, semoga "tjapdjai, akan seenak sepuluh sayuran yang diramu dalam mangkok berisikan capcay gurih yang sering saya nikmati di Jatinangor dulu sehabis bermain bola...

Wassalam

Monday, December 19, 2005

mudah-mudahan jadi mudah

"Mudah sekali membuat blog!!" pekik saya kegirangan (tapi dalam hati, tentunya). Jelas, ungkapan barusan bukan sebuah testimonial yang saya dedikasikan untuk situs 'tercinta' www.blogger.com, meskipun kelihatannya seperti itu. Seperti terungkap begitu saja, saya memang merasakan kemudahan ketika saya ingin latah membuat blog seperti orang-orang pada umumnya.

Maka, bikinlah saya sebuah blog yang saya namai persis seperti blog saya terdahulu di situs 'pertemanan' yang penuh dengan gosip keanggotaan kita di sana bakal terhenti kalau kita begini atau begitu, juga kalau kita tidak begini atau begitu. Komentar pertama, tentu dari istri tercinta yang saat ini memang terlihat sangat cantik dengan serpihan titik air di wajahnya. Maklum, mau shalat ashar seberesnya ia siaran Sky Movie. Katanya, "Adeuh, euy... si Abah meni semanget kieu!"

Saya memang tengah bersemangat. Mungkin berkah dari kemudahan yang saya dapat ketika membuat blog ini. Ada benarnya juga apa yang dikatakan situs ini berkait dengan kemudahan dalam membuat sebuah blog. Kasarnya, monyet pun bisa membuat blog.

Kemudahan serupa kemudian menimbullan efek bola salju. Tadinya, dalam postingan pertama saya hanya akan menuliskan sebuah "TEST" di mana saya bisa mengecek bagaimana keberadaan blog ini setelah saya postingkan, eh ternyata ada sesuatu lain yang berkehendak, hasrat saya dalam menulis. Seolah, semuanya terasa lancar begitu saja.

Sebelum menutup perjumpaan pertama ini, saya hendak berterima kasih pada sang "inspirator" yang beralamat di situs yang sama bernama "gawehawe".

Terakhir, mudah-mudahan kemudahan ini bisa membuka kemudahan-kemudahan lainnya.

"Maka sungguh, setelah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya, setelah kesulitan itu ada kemudahan," demikian yang Allah katakan dalam firman-Nya.

"Fainna ma'al 'usrii yusraa... inna ma'al 'usrii yusraa.." (Al Ashr: 5-6).