Kehadiran Tuhan dan Kebahasaan
"Senang sekali rasanya ketika blog saya disentuh orang!"
Entah apakah ini sebuah euphoria sebagai debutan di dunia blog atau memang karena manusia selalu saja butuh pengakuan, tapi kalimat pembuka yang saya tuliskan itu benarlah adanya. Rasanya ada sesuatu menggelitik yang menyenangkan saat membacai komentar teman-teman usai membacai blog ini.
Sumpah! Perasaan ini sudah lama sekali tidak saya rasakan. Di tengah kesibukan berumah tangga dan dunia kerja yang sama sekali berbeda, perasaan menyenangkan ini menghampiri saya lagi. Hanya komentar? Boleh jadi! Tapi, kendatipun ge er, biarlah saya mempersepsinya sebagai sebuah penyambutan akan keberadaan blog ini, dan tentunya keberadaan saya di mata teman-teman yang lebih dulu hadir.
Omong-omong soal kata 'hadir', saya punya cerita. Di masa Sekolah Dasar dulu, saya sempat menyambi sekolah agama di sore harinya. Namanya Madrasah Diniyah (Bedanya, dulu kami tidak dimintai sidik jari saat menuntut ilmu di sana). Nah, di saat belajar alif ba ta itulah kami rutin dicek kehadirannya oleh sang mudir (guru) yang menyebut nama kami satu per satu. Kalau nama disebut, maka kami akan mengatakan HADIR!! dengan cukup lantang.
Artinya lagi, kalau ternyata sang guru tak mendengar kata itu saat menyebut sebuah nama, maka dipastikan kalau orang itu tidak hadir. Nah, seingat saya, urusan hadir tidak hadir pun mengenal pembedaan. Kalau mau disebut ini urusan gender, bolehlah. Tapi, sungguh! dulu saya sama sekali tak kenal kata 'gender'. Hal yang saya tahu saat itu, kalau nama murid wanita yang disebut, maka ia akan menjawab: Hadirah (baca: Hadiroh).
Usut punya usut, kata hadirah ini dalam kaidah bahasa Arab, merupakan bentuk kata perempuan dari hadir. Bahasa Arab, setahu saya memang mengenal pembedaan antara bahasa yang digunakan untuk laki-laki dan yang digunakan untuk perempuan. Kalau laki-laki, kelompok katanya disebut dengan muzakkar (mirip dengan penyebutan alat kelamin pria, kan?) sedangkan untuk perempuan disebut muanats.
Aslinya, hadirah ini ditulis sebagai 'hadirat', ujung huruf 'h' adalah penyebutan dari 't' yang disebut sebagai 'ta marbuthah', artinya, dibaca sebagai 'h' saja. Memusingkan bukan?
Kata seorang teman lulusan pesantren, bahasa Arab ini memiliki tingkat kemiripan (juga kesulitan) tinggi dengan bahasa Prancis. Setahu saya, belajar kedua bahasa itu memang cukup memusingkan. Mungkin karena itu juga hingga sekarang, saya tak pernah berhasil untuk melanjutkan niat saya mempelajari bahasa Arab.
Kata 'Hadirat' ini ternyata diserap dalam bahasa Indonesia. Dalam KBBI bajakan yang saya beli di Palasari, Hadirat dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Semua yang hadir (dengan catatan tambahan untuk perempuan). Untuk laki-laki, arti yang sama diwakili dalam kata Hadirin.
Nah, yang menarik bagi saya, orang Indonesia selalu saja memadankan kata Hadirat ini dengan kata Tuhan. Hadirat adalah kata yang mewakili keberadaan Tuhan. Misalkan saja dalam do'a bersama di saat upacara bendera, protokol bilang, "Marilah kita bersama-sama memanjatkan Do’a ke Hadirat Tuhan."
Lantas, entah bagaimana caranya, kata Hadirat itu terus-terusan menyertai kata Tuhan. Ada dua hal menarik saya pikir. Pertama, kalau memang itu benar penyematannya – dalam artian bukan sebuah bias – maka kata yang bernuansakan perempuan ini benar-benar sungguh terhormat. Para feminis, kalau tahu akan hal ini akan berpikir kalau pemadanan itu merupakan sebuah penghormatan yang sungguh sempurna bagi kaum perempuan yang mereka bela.
Bagaimana tidak, dengan pemadanan itu, akan muncul persepsi kalau Tuhan begitu feminin, bukan maskulin. Sekedar bandingan saja, dalam bahasa Inggris, biasanya kata ganti untuk Tuhan biasanya dalam bentuk kata ganti orang ketiga tunggal pria. Contoh sederhananya adalah kalimat ini, "We’re just do our part, and let God do his part!"
Kalimat berbahasa Inggris di atas sering sekali dilontarkan Amien Rais (mantan ketum PP Muhamadiyah) saat menggambarkan tentang keberadaan usaha manusia dan kaitannya dengan tawakal.
Namun demikian, poin yang kita bahas bukan hal itu, tapi tentang penggunaan kata “His” sebagai pengganti God di anak kalimat di atas. Bukankah Tuhan dalam hal ini terlihat begitu maskulin?
Nah, soal kedua (tadi yang pertamanya yang mana ya?) adalah berkaitan dengan soal tunggal dan jamak. Boleh jadi, ini akan meng-counter dugaan saya di awal. Kalau Hadirat itu adalah bentuk jamak dari hadir, maka keberadaan Tuhan di sini tidak lagi tunggal jika dipadankan dengan kata hadirat. Ketika kita bilang, "Mari berdo’a ke hadirat Tuhan," maka berdo'a di sana ditujukan pada semua 'Tuhan' yang ada.
Justru di sini permasalahannya. Dugaan saya, kelihatannya yang salah adalah penggunaannya dalam bahasa Indonesia. Bicara soal konteks kebahasaan, masyarakat Arab pasca Muhammad SAW adalah masyarakat Monoteisme. Tugas kenabian Muhammad adalah memurnikan ajaran Monoteisme satu Tuhan sebagaimana yang dirintis oleh pendahulunya, misalkan saja Ibrahim, Musa, juga Isa. Karena itu, agak kurang pas rasanya di sebuah masyarakat penganut monoteisme satu Tuhan, penggunaan kata Hadirat ini dipadankan dengan Tuhan.
Dugaan lain, boleh jadi masalah sebenarnya ada pada penggunaannya dalam bahasa Indonesia. Kalau di Indonesia yang plural, mungkin saja penggunaan kata Hadirat untuk Tuhan jadi bisa diterima. Untuk menghormati semua agama yang diakui pemerintah, maka kata hadirat boleh jadi dianggap mewakili semua penyebutan Tuhan yang berbeda-beda. Jadi, kalau lantas ngomongnya Hadirat, semua "Tuhan" bisa terwakili di sana.
Dugaan lainnya lagi, ini adalah sebuah bentuk salah kaprah. "Another 'salah kaprah' in Indonesian Literature", sebagaimana banyak kata serapan lain juga yang disalahkaprahkan. Saya sih berharap mudah-mudahan dugaan inilah yang paling mendekati kebenaran.
Tapi, sekali lagi, semua itu cuma dugaan. Sesuatu yang baru saja pop up ketika saya mau nulis blog dan menyatakan kegembiraan saya akan komentar yang mampir di blog ini. Ketika mengetik kata 'hadir' di awal-awal tulisan, tiba-tiba usul usil seperti ini langsung mengalir. Alhasil, bagi saya yang sekarang lagi hobi-hobinya posting di blog, ini jadi sesuatu berharga yang buat menuh-menuhin blog ini.
Sekian saja. Wallahu ‘alam bisshawabb.
"Kebenaran hanyalah Milik-Nya, dan janganlah kamu sekalian menjadi orang-orang yang meragu..."